Representasi Kreatif Seniman Dalam Candi Tigawangi (5)

|
Oleh: Toto Sugiarto Arifin

Raksasa yang ada di sebelah timur selatan sepertinya sudah kelelahan, dengan posisi badan yang agak miring ke kanan, tetapi walau bagaimana pun tangan tetap menahan badan candi. Tampilan rambut raksasa ini agak berbeda dengan tampilan rambut raksasa lainnya, yaitu menampilkan rambut yang lurus, sedangkan hiasan pengisi ruang kosong masih tetap menggunakan stilasi dari tumbuh-tumbuhan. Adapun raksasa yang berada di sebelah timur tengah, penampilannya hampir sama dengan raksasa pada posisi selatan barat, hanya karakter mukanya yang sedikit berbeda.

Raksasa yang berada di timur utara menunjukkan punya cara berbeda dalam mengangkat badan candi, ia tidak menggunakan tangannya untuk mengangkat, tetapi menggunakan bahu dan tengkuknya, sedangkan kedua tangan menopang lutut untuk mendorong badan candi naik ke atas. Kedua kaki dengan kokoh ditekuk untuk menahan kedua tangannya. Hiasan pengisi ruang kosong tetap menggunakan hiasan flora dengan bentuk ukel.

Adegan dua figur yang sedang memotivasi raksasa yang sedang mengangkat badan candi, dengan sikap mengejek muncul kembali pada relief ’tiang’ sebelah utara timur. Namun posisi kaki raksasa tidak memberi kesan menghadap ke depan, tetapi agak menyamping kiri, dengan penampilan satu kaki lebih di muka dan satunya lebih ke belakang. Walaupun secara perspektif tampilan itu tidak benar, namun kesan yang ditampilkan bisa ’bercerita’ bahwa raksasa itu agak menghadap ke samping. Adapun flora masih tetap menjadi hiasan-hiasan pengisi ruang kosong, sedangkan relief bagian utara tengah masih dalam proses dan belum jadi.

Relief ’tiang’ paling utara barat menyerupai adegan raksasa pada ’tiang’ selatan barat, namun mukanya agak menunduk dan menghadap ke samping kiri, sedangkan hiasan-hiasan pengisi ruang kosong tetap menampilkan tumbuh-tumbuhan. Pada ketiga relief ’tiang’ sisi utara tersebut menunjukkan banyak informasi. Pertama, relief-relief raksasa pada ’tiang-tiang’ tersebut dapat dipastikan tidak dibuat oleh satu seniman, hal ini ditunjukkan bahwa relief ’tiang’ sebelah utara timur sudah jadi, utara tengah belum jadi, sedangkan yang utara barat sudah jadi. Naluri manusia biasanya bekerja secara berurutan, sedangkan pada relief sisi utara bagian tengah belum jadi tetapi kanan-kirinya sudah jadi, maka dapat diduga bahwa relief-relief tersebut dibuat oleh lebih dari satu orang seniman.

Dari kesembilan relief raksasa pada ’tiang’ di kaki Candi Tigawangi tidak ada satu pun yang persis sama, bahkan ada kecenderungan disengaja dibuat berbeda-beda, apakah itu karakter raksasanya, posisi badan, tampilan aksesoris, pengisi ruang kosong maupun suasana yang mendukung di sekitarnya. Hal ini dapat dipastikan bahwa hal tersebut merupakan representasi dari kreativitas seniman pada waktu itu dan adanya kebebasan seniman dalam mengekspresikan respon kreatifnya terhadap satu karya yang ’diperintahkan’ kepadanya.

Candi merupakan bangunan yang suci bagi pemeluk agama Hindu-Budha, namun ternyata seniman pada saat itu merespon sesuatu yang bersifat religius, tidak harus dilakukan dengan kaku dan terpaku pada pola-pola baku/canon tertentu, tetapi dapat ditampilkan dengan penuh kebebasan dan rasa humor. Hal ini berbeda dalam cara membangun masjid atau gereja. Hiasan-hiasan yang ditampilkan cenderung simetris dan berulang-ulang. Fakta-fakta tersebut sebenarnya merupakan permasalahan yang menarik untuk diteliti secara lebih mendalam.

Berdasarkan tampilan-tampilan bentuk relief tadi ternyata dengan bentuk yang tidak realistis, telah mampu memberi pesan apa yang dilakukan oleh satu figur, jadi dalam sebuah komunikasi dengan bahasa visual tidaklah harus selalu ketepatan bentuk yang terpenting, tetapi yang utama adalah tampilan ekspresi, sehingga seorang penikmat karya seni itu dapat dengan mudah menangkap sebuah makna yang ditampilkan oleh satu adegan dalam relief candi.

Namun walau bagaimana pun kebebasan itu diberikan pada seorang seniman, tetap saja ada karakter-karakter umum yang harus diikutinya. Seperti tampilan raksasa memiliki ciri umum, sehingga dengan mudah dapat ditetapkan bahwa figur tersebut adalah raksasa. Yaitu dengan ciri khas matanya yang dibuat bentuk membulat, sehingga mengesankan melotot dan mulut yang bertaring. Itulah bentuk universal dari figur raksasa.

Kesimpulan

Menelusuri artefak hasil karya nenek moyang, sering kali dikejutkan dengan banyaknya kekayaan kreativitas yang telah dibuat oleh seniman masa lampau yang muncul kembali di masa kini tanpa kita menyadarinya. Banyak wujud-wujud kreativitas saat itu yang melampaui jamannya dan baru sebagian dimengerti saat ini dan masih banyak lagi ujud rupa hasil karya nenek moyang yang masih menjadi misteri, menunggu pewarisnya untuk mengungkap makna yang sebenarnya dan mentransformasikan dalam kehidupan masa kini. (*)

Kepustakaan:

Holt, Claire. (1967). Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. R.M. Soedarsono. (2000). Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung.

Kusen, at al.(1993). “Agama dan Kepercarayaan Nasyarakat Majapahit”, dalam Sartono Kartodirdjo, et al. 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993) Suatu Bunga Rampai. CV. Tiga Dara, Surabaya.

Mookerjee, Ajit. (1985). Ritual Art of India. Thames and Hudson, London.

Peursen, C.A. van. (1988). Strategi Kebudayaan. Kanisius, Yogyakarta.

Sutrisno SJ, Fx. Mudji dan Christ Verhaak SJ. (1993). Estetika: Filsafat Keindahan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Penerbit ITB, Bandung.

Soedarso Sp. (2006). Trilogi Seni; Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni. Badan Penerbit ISI Yogyakarta, Yogyakarta.

Soedjono, Soeprapto. (2006). “Trasformation of Aesthetics Form: The Case of Ramayana Panel-Relief of Prambanan Temple.” Jurnal Mudra, Bali.

Stutterheim. (t.t.). “Arti Candi-candi Jawa-Hindu”, dalam Soedarso Sp. ed. Proses Pembentukan, Pertemuan antara Kebudayaan Indonesia Asli dengan Kebudayaan India. Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI Yogyakarta, Yogyakarta.

Sudhi, Padma. (1983). Aesthetic Theory of India. Bhandarkar Oriental Research Institute, Poona, India.

Sukmono, dan Inajati Adrisijanti Romli. (1993). “Peninggalan-peninggalan Purbakala Masa Majapahit”, dalam Sartono Kartodirdjo, et al. 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993) Suatu Bunga Rampai. CV. Tiga Dara, Surabaya.

Tanudirjo, Daud Aris. (1993). “Pertanian Majapahit Sebagai Puncak Evolusi Budaya”, dalam Sartono Kartodirdjo, et al. 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993) Suatu Bunga Rampai. CV. Tiga Dara, Surabaya.

Thwaites, Tony, et al. (1994). Tools for Cultural Studies an Introduction. Macmillan Education Australia PTY LTD, Melbourne.

Wolff, Janet. (1981). The Social Production of Art. Library of Congress Cataloging in Publication Data, New York.

Representasi Kreatif Seniman Dalam Candi Tigawangi (4)

|
Oleh: Toto Sugiarto Arifin

Kreativitas dalam Relief Candi Tigawangi

Candi Tigawangi terletak dekat Pare, Kediri. Dalam Negarakrtagama candi itu memang disebut Candi Tigawangi yang berdasarkan keterangan tersebut dibangun oleh Raja Matahun ipar dari Raja Hayam Wuruk. Bangunan ini ditinggalkan ketika proses pembangunannya belum selesai, dibuktikan dengan adanya beberapa relief yang dibuat masih setengah jadi. Dugaan tersebut diperkuat dengan beberapa keterangan lainnya bahwa saat itu masa-masa yang penuh dengan pergolakan sosial politik dan pengaruh Islam yang mulai mendesak kepercayaan Siwa.

Candi Tigawangi bersifat Siwaistis dengan hiasan-hiasan relief yang sangat menarik, baik langgam maupun ceritanya. Kaki candi dihiasi dengan adegan-adegan cerita Sudamala, yang memiliki konsep pembebasan manusia dari segala macam bahaya dan umur yang pendek. Dengan demikian penampilan relief menciptakan suasana pembebasan dari suatu bahaya, seperti yang dialami oleh Dewi Uma.

Inti cerita Sudamala adalah pembebasan Dewi Uma, sakti Batara Guru (Siwa) yang telah dikutuk oleh suaminya menjadi raseksi, yaitu Durga. Ia bisa terbebas dari kutukan hanya melalui seorang satria Pandawa yang bernama Sadewa. Namun Sadewa tidak mau membebaskan Durga, sehingga Durga marah besar dan ia menangkap Sadewa serta mengikatnya pada sebatang pohon. Untuk mendesak agar Sadewa mau membebaskan Durga, ia dibantu oleh dua orang peri yang juga telah dikutuk menjadi raksasa dan dibantu oleh raksasa-raksasa lainnya dan hantu-hantu. Hantu-hantu tersebut digambarkan seperti sebuah tangan terpisah, binatang yang besar dan lain sebagainya. Namun akhirnya Sadewa tidak tahan dengan siksaan itu, sehingga ia membebaskan Durga kembali menjadi Dewi Uma, maka sakti Batara Guru tersebut terbebaslah dari kutukan (Soedarmo, 1982: 103).

Yang menarik dari relief candi ini di antaranya adalah gambar-gambar raksasa yang berada dalam ’tiang’ kaki candi, yang berjumlah sembilan. Tiga ’tiang’ di sisi selatan, tiga ’tiang’ di sisi timur, dan tiga ’tiang’ di sisi utara. Namun relief ’tiang’ yang sebelah utara belum jadi semuanya, terutama relief pada ’tiang’ yang tengah. Semua relief raksasa tersebut digambarkan dengan bentuk, suasana, posisi yang berbeda walaupun dengan tetap menampilkan kesan utama yang sama, yaitu raksasa yang sedang mengangkat badan candi.

Perbedaan penggambaran raksasa tersebut diasumsikan bukan berarti ketidakmampuan seniman pada saat itu untuk membuat bentuk yang sama, namun disengaja sebagai suatu respon kreatif dari seniman saat itu. Kreativitas dan kebebasan dalam merespon suatu ajaran pada saat itu sangat mengejutkan, ternyata seniman diberi kebebasan yang luas untuk menafsirkan sebuah ’instruksi’ dari pemuka agama.

Pada relief paling barat selatan menggambarkan seorang raksasa dengan penuh semangat dan tegas mengangkat badan candi. Kedua kaki ditekuk dan kedua tangan menyangga badan candi, sehingga mengesankan sedang berusaha dengan keyakinan tinggi mengangkat badan candi tersebut. Nilai-nilai kreativitas selain dari perwujudan raksasa, juga dapat dilihat dalam cara pengisian ruang kosong yaitu dengan ditampilkan bentuk daun-daun yang lebar dan beberapa sulur-sulur seperti pohon pakis.

Namun tampilan raksasa yang ada di ’tiang’ selatan tengah mengekspresikan sebuah tampilan yang berbeda jauh dengan raksasa yang pertama. Posisi tangan dan kaki tetap sama dengan posisi yang pertama, tetapi muka tidak menghadap ke depan namun menghadap ke arah samping atas, seperti sedang melihat badan candi yang sedang diangkatnya. Ekspresi yang ditampilkan oleh raksasa tersebut mengesankan kurang percaya diri dan seperti kelelahan. Tampilan kepala raksasa ini juga berbeda, yaitu dengan kepala gundul dan tanpa hiasan. Untuk mengisi ruang kosong ditampilkan beberapa daun besar dan ukel, sebagaimana pada adegan yang pertama.

Pada raksasa yang berada di ’tiang’ selatan timur, menampilkan suasana yang berbeda, dengan adanya dua figur lainnya yang sedang memberi motivasi kepada raksasa yang sedang mengangkat badan candi. Namun kedua figur tersebut mengekspresikan kesan sedang mengejek raksasa. Figur pertama dengan rileks kedua tangannya diletakkan di belakang sambil tertawa, sedangkan figur yang kedua lebih kelihatan ekspresi mengejeknya, yaitu dengan gerakan menepuk-nepuk pantatnya untuk memotivasi raksasa. Tampilan raksasa ini agak berbeda dengan tampilan sebelumnya, terutama posisi kaki. Satu kaki ditekuk seperti sedang jongkok, tetapi yang satunya posisinya seperti orang bersila dan ini memberi kesan bahwa raksasa tersebut telah lama mengangkat badan candi. Secara keseluruhan pada adegan ini di samping tampilan yang serius, juga terdapat tampilan yang mengesankan rasa humor, sebagai satu representasi nilai kreatif seniman pada waktu itu.

Representasi Kreatif Seniman Dalam Candi Tigawangi (3)

|
Oleh: Toto Sugiarto Arifin

Keindahan dan Representasi Seni

Candi Tigawangi merupakan hasil akulturasi antara kebudayaan India dengan kebudayaan Jawa ’asli’. Tentu saja keindahan dari relief candi itu merupakan perpaduan keindahan India dan Jawa dan perpaduan keindahan tersebut bukanlah sesuatu hal yang baru tumbuh pada zaman Jawa Timur, tetapi sejak pertama kali kebudayaan India ’menyentuh’ kebudayaan Jawa di Jawa Tengah, akulturasi tersebut telah nampak dengan jelas seperti yang disinyalir oleh Tagore ketika berkunjung ke Indonesia. Hal serupa juga dikemukakan oleh Seoprapto Soedjono (2006: 8) bahwa ”...faces are so characterized but the other faces as well as gesture of hands, feet, and limbs are remain conventionalized, as they are in most parts were derived from combining Indianizing art tradition with local indigenous tradition.”

Keindahan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari istilah seni, bahkan sebagian orang awam beranggapan bahwa seni itu harus mengandung nilai-nilai keindahan, walaupun paham ini ditentang oleh sebagian ahli, karena seni tidak harus selalu indah. Namun paham kedua itu masih tergantung dengan jawaban atas pertanyaan pertama, yang bagaimana yang indah itu (Soedarso, 2006: 11). Keindahan dalam kebudayaan India telah memiliki aturan-aturan atau kaidah-kaidah tertentu, yang membimbing seniman dalam membuat sebuah karya. Keindahan dalam konsep India bukan apa yang dapat dilihat, didengar atau diraba, tetapi keindahan adalah ada di dalam jiwa atau antahkarana. Untuk mencapai keindahan yang paling hakiki diperlukan satu konsentrasi dan meditasi. Seperti yang dijelaskan oleh Padma Sudhi (1983: 5) “when these senses move to the internal world of pure-consciousness, from aesthetic mood to aesthetic taste and from aesthetic taste to aesthetic enlightenment, they reach the aesthetic realization through the practice of concentration and meditation.”

Keindahan sebagai pencerahan hanya dapat dicapai melalui meditasi atau yoga. Perilaku seperti itu juga seringkali dilakukan oleh seniman-seniman tradisional di Jawa, yaitu sebelum menciptakan sebuah karya, mereka harus melalui laku, artinya melakukan satu tindakan seperti puasa, kontemplasi atau perenungan, bahkan melalui meditasi. Setelah itu baru akan dihasilkan sebuah karya yang memiliki nilai keindahan tinggi.

Selanjutnya menurut Sutrisno (Soetrisno, 1993: 94-96) filsafat keindahan India dapat ditelusuri dalam tulisan Bharata. Bharata menulis Natyasastra (Kitab tentang pentas); abad ke-5 atau ke-6 M, yang membedakan antara rasa dan bhava. Bahwa bhava merupakan reaksi-reaksi murni; emosi-emosi yang muncul begitu saja tanpa terkendali. Terdapat 8 bhava, yaitu; senang, marah, sedih, gembira, bulat-tekad, takut, benci, kagum, sedangkan rasa adalah emosi-emosi yang sudah tersaring, sehingga menghasilkan sebuah karya seni. Selanjutnya Sankuka yang hidup pada abad ke-10 M menjelaskan bahwa rasa bukanlah puncak bhava, tetapi bayangan penggandaan emosi. Pengalaman estetika berada di luar permasalahan benar dan tidak benar. Rasa itu merupakan persepsi self evident, tetapi Abhivagupta memberi kritik atas pandangan Sankuka. Kesenian bukanlah suatu imitasi, tetapi cara baru untuk melihat hidup nyata. Akhirnya Bhatta Tauta menyampaikan bahwa rasa itu pertama-tama ada di dalam batin sang penyair (kavi). Hanya orang yang bisa beridentifikasi diri dengan yang dilihatnya, yang bisa mengalami rasa. Itu terwujud dalam takjub dan kagum yang memberinya kebahagian estetika. Adapun rasa adalah merupakan pengolahan atas emosi atau bhava yang bersifat personal oleh seniman dan dimurnikan serta dikombinasikan dengan rasa lain, secara artistik sehingga menjadi universal (Soedarso, 2006: 174).

Karya yang ditampilkan dari proses kontemplasi merupakan representasi pengalaman seniman atas perjalanan hidupnya. Representasi berarti sebuah tanda untuk sesuatu yang diwakilinya. Ketika melihat relief dalam candi yang menggambarkan seorang yang sedang mancing, itu menandakan bahwa masyarakat pada saat itu telah melakukan aktivitas seperti itu. Secara semantik, representasi bisa diartikan to depict, to be a picture of, atau to act or to speak for (in the place of, in the name of) somebody (Noviani, 2002: 61). Artinya representasi bukan mewakili dirinya sendiri tetapi mewakili sesuatu hal lain.

Istilah representasi dalam seni menurut Sumardjo (2000: 76) dapat mengandung arti sebuah gambaran yang melambangkan atau mengacu kepada kenyataan eksternal. Atau dapat berarti pula ‘mengungkapkan ciri-ciri umum yang universal dari alam manusia’. Di samping itu pula representasi juga berarti menghadirkan bentuk-bentuk ideal yang berada di balik kenyataan alam semesta. Representasi seni adalah upaya mengungkapkan kebenaran atau kenyataan semesta sebagaimana ditemukan oleh senimannya.

Karya seni adalah kerja yang serius, sama seriusnya dengan ilmuwan yang mencari kenyataan baru dari gejala alam. Perlu ada kerja keras, perlu ada pengamatan data, perlu ada ketajaman intuisi dalam melihat kebenaran di balik permukaan, perlu penguasaan teknik seni yang tinggi dan cerdas, agar lahir sebuah karya seni dalam modus tertentu, baik mimesis maupun imajinatif-idealis.