PERGESERAN BUDAYA - Sebuah Renungan

|
Oleh: I Gede Oka Subagja

Umar Kayam dalam Semangat Indonesia: Suatu perjalanan Budaya, mengisahkan hasil liputan dalam perjalanannya di pedalaman Kalimantan, anak-anak sudah menyambutnya dengan lagu “Sorak-Sorak Bergembira” dan tidak menyanyikan lagu-lagu suku Dayak. Didong dan seudati memainkan irama dangdut, wayang kulit yang sudah tidak memakai lampu blencong lagi namun digantikan oleh lampu plenthong dan hampir semua seni pertunjukan di Indonesia mengalami pergeseran dan yang lebih dalam lagi adalah pergeseran nilai. (Umar Kayam: Semangat Indonesia: Suatu perjalanan Budaya, PT Gramedia,1984)

Berbagai hal dalam kehidupan mempengaruhi terjadinya pergeseran budaya seperti antara lain; teknologi, ekonomi, politik, sosial kemasyarakatan dan pendidikan. Teknologi memiliki peran cukup penting dalam terjadinya pergeseran budaya pada seni pertunjukan.

Saya tampilkan cuplikan tulisan salah seorang yang menamakan dirinya Pande Baik yang tergabung dalam Bali Blogger Community.

Pergeseran budaya yang terjadi hingga hari ini, rupanya lebih banyak disebabkan makin majunya teknologi yang makin hari makin dekat dan nyata di depan mata. Saling mengucapkan syukur dan selamat saat hari raya maupun event tertentu, tak lagi disusahkan dengan corat-coret dan persiapan panjang, cukup dengan mengetik pesan singkat via ponsel, maka dalam waktu lima menitpun rasanya balasan sudah bisa diterima. Hanya saja ucapan ini begitu mudah pula dihapus dan dilupakan. Sedemikian lewat saja. Berkirim cerita dengan suratpun bisa digantikan panjang lebar dengan fitur email, yang bisa ditambahkan dengan gambar maupun suara sekalipun, gak perlu yang namanya kaset tape recorder yang diselipkan hanya untuk membekali isi surat demi sesuatu yang lebih surprise. Penyampaian berita pentingpun tak harus menunggu sehari dua lantaran kiriman Telegram tak jua muncul, tinggal luangkan waktu sejenak dengan harga maksimal 350 rupiah, kabar berita pentingpun bisa sampai ditujuan dengan selamat. Namun satu hal yang dapat dirasakan, kini tak ada lagi yang namanya rasa kehangatan ataupun perasaan menunggu-nunggu kiriman surat dari sang kekasih atau orang yang dicintai, karena dalam waktu sekian menitpun pasti akan ada jawabannya. Pergeseran akibat teknologipun sedikit demi sedikit mampu mengikis rasa kehangatan dan kekeluargaan yang ada dalam kekerabatan sekaligus pula mempermudah komunikasi tanpa jangka waktu yang lama.

(www.pandebaik.com/2008/02/08/pergeseran-budaya-akibat-teknologi/)

Kita tidak tahu apa yang dirasakan oleh Pande Baik, jengkel dengan hilangnya rasa kehangatan dan kekeluargaan atau senang dengan mudahnya dalam melakukan komunikasi. Pergeseran itu terjadi seperti air mengalir, perlahan tapi pasti. Arah pergeseranlah yang perlu kita arahkan, kemana seni pertunjukan Indonesia akan bermuara?

(*)

NILAI FILOSOFI YANG TERSIRAT DALAM JUDUL DAN SYAIR GENDHING CUCUR BAWUK

|
Oleh: Sito Mardowo

Seni Karawitan adalah salah satu bentuk kesenian tradisional yang hidup dan berkembang di Nusantara. Kehadirannya dapat digunakan sebagai salah satu ciri dan kebanggaan bangsa yang mampu membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya. Seni karawitan sebagai salah satu penyangga budaya, selalu berpartisipasi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia (khususnya suku Jawa) dengan memberikan tuntunan pelajaran hidup yang termuat dalam judul lagu, musikalitas, dan syair-syair atau cakepan yang terdapat dalam Gendhing (lagu Jawa).

Judul lagu atau gendhing dalam karawitan Jawa selalu ringkas, padat, namun mengandung makna mendalam apabila ditinjau dari perspektif filsafat. Seperti halnya dalam karya ilmiah, judul sebuah gendhing merupakan cerminan aspek-aspek yang terdapat di dalamnya. Judul gendhing dalam karawitan tradisi Jawa selalu menggunakan kata “simbolis”, yang artinya memerlukan interpretasi makna untuk menangkap “pesan” yang ingin disampaikan pencipta kepada audience.

Syair-syair atau cakepan yang diciptakan para pujangga atau seniman karawitan biasanya dituangkan dalam bentuk bahasa simbol dengan pemaknaan yang sarat dan mengandalkan kesusastraan mendalam dan indah. Diperlukan pengkajian makna terlebih dahulu untuk memahami maksud dan tujuan yang ingin disampaikan kepada audience.

Pada kesempatan ini penulis akan menganalisis dan menginterpretasikan gendhing Cucur Bawuk dari sisi ajaran hidup yang terkandung dalam judul dan syairnya. Judul dan syair diambil dari buku Kumpulan Gending Gagrag Surakarta tulisan Saksonorawita dan Sukimin Dwijaatmaja.

Filosofi Judul Gendhing

Nama Cucur Bawuk dapat diinterpretasikan maknanya secara per-kata. Cucur berasal dari kata “kucur” atau menjadi kata predikat “mengucur” yang mempunyai makna harfiah menetesnya darah yang keluar akibat terjadinya “sesuatu”. Sedangkan “bawuk” adalah sebutan atau nama liang kewanitaan yang berfungsi sebagai organ seksual dan jalan kelahiran bayi. Apabila digabung, kata majemuk “cucur bawuk” mempunyai makna harfiah mengucurnya darah dari liang kewanitaan.

Kata “cucur bawuk” yang digunakan sebagai sebutan gendhing mempunyai makna tersirat lahirnya seorang bayi dari seorang ibu akibat buah cinta orang tua. “Mengucur” melambangkan perjuangan berat dengan taruhan nyawa. Makna tersebut dapat diinterpretasikan sebagai perjuangan yang harus dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan atau kesuksesan.

Filosofi Syair Gendhing

Syair atau cakepan (istilah karawitan) gendhing Cucur Bawuk terdiri dari 4 bait atau pada dengan menggunakan bahasa campuran antara Jawa Kuna dan Jawa Modern. Filosofi sebagai ajaran hidup yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

Pada/bait 1:

Wening, (hening)

Dumling cenger jabang, (mendengar tangis bayi)

Wruh pepadhang miwah sepi, (melihat terang dan sepi)

Swasana plong procot mijil, (suasana lega keluar)

Guwa garba biyungipun. (dari rahim sang ibu)

Pemaknaan syair atau bait satu dapat diinterpretasikan sebagai berikut :

Wening atau hening memaknakan suasana yang penuh dengan permohonan doa ucapan terima kasih orang tua kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkah diperkenankannya sang bayi memulai hidup di dunia. Hadirnya seseorang dalam keluarga menjadi harapan dan tumpuan masa depan keluarga dalam melaksanakan kehidupan sebagai rahmat Tuhan.

Dumling cenger jabang, maksudnya adalah kehadiran sang bayi di dunia ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Hal ini bermakna bahwa anak yang sempurna lahir batin diharapkan mampu memecahkan segala permasalahan yang akan dihadapi keluarga. Cenger atau tangis merupakan manifestasi aktifitas seseorang yang mencirikan kemampuan dan kesiapan menghadapi hidup.

Wruh pepadhang miwah sepi, adalah kemampuan seseorang dalam membedakan perbuatan baik dan buruk yang selalu dihadapi oleh manusia selama masih hidup di alam fana.

Swasana plong procot mijil, merupakan manifestasi rasa lega seorang ibu yang telah usai melahirkan. Kelegaan atas sebuah kemenangan melawan maut yang dapat membawa sang ibu maupun anak kepada kematian. Hal ini dapat diinterpretasikan pula sebagai seseorang yang lepas dari sebuah permasalahan berat dan telah mendapatkan solusi terbaik dan tuntas.

Guwa garba biyungipun, memaknakan liang kewanitaan ibu yang diinterpretasikan sebagai sebuah jalan yang harus ditempuh meskipun penuh dengan derita demi tercapainya cita-cita hidup yang lebih baik.

Pada/bait 2 :

Hayu rahayuwa, (semoga selamat)

Jabang biyang baraya gung, (bayi keluarga besar)

Karoban berkah Pangeran, (mendapat berkah Tuhan)

Slamet ing salami-lami. (selamat selamanya)

Pemaknaan syair atau bait dua dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

Hayu rahayuwa, adalah sebuah pemaknaan doa yang dipanjatkan oleh kedua orang tua sang bayi. Berkat kegigihan yang disandarkan pada kehendak Tuhan akan membuahkan hasil kebahagian keluarga dengan didapatkannya tambahan anggota keluarga. Kehadiran seseorang (bayi) akan menciptakan sejarah dan suasana baru di mana ia berada dalam lingkungannya.

Jabang biyang baraya gung, jabang biyang konotasinya adalah jabang bayi atau bayi, sedangkan baraya gung adalah keluarga besar. Makna dari kalimat tersebut adalah sang bayi tidak hanya sebagai anggota keluarga kecil (terdiri dari ayah, ibu, dan anak), tetapi juga merupakan anggota dari keluarga besar atau trah. Bertambahnya anggota keluarga dimaknai sebagai harapan meningkatnya taraf hidup, persaudaraan, kebahagiaan, pelestarian, dan pengembangan trah. Dengan bertambahnya anggota trah, berarti semangat gotong royong akan semakin kuat dalam menghadapi perjalanan hidup.

Karoban berkah Pangeran, kata karoban mempunyai padanan kata kejugrukan atau keruntuhan (dalam bahasa Indonesia). Namun karoban di sini bukan bermakna sebagai keruntuhan benda yang banyak dan menyakitkan, tetapi gaya hiperbola yang bermakna mendapatkan sesuatu yang sangat banyak. Hal tersebut menjadi jelas bila dirangkaikan dengan kata selanjutnya yaitu berkah Pangeran yang artinya berkah dari Tuhan. Jadi maksud dari rangkaian kata tersebut adalah mendapatkan berkah Tuhan yang melimpah. Pemaknaan rangkaian kata tersebut dapat diinterpretasikan sebagai kecintaan Tuhan kepada umat-Nya yang telah memberikan seorang anak. Bagi orang Jawa anak merupakan anugerah “luar biasa” dan dianggap sebagai “bandha sing ora ana tandhinge.” Artinya nilai seseorang anak diibaratkan sebagai harta yang tidak ternilai harganya, atau dapat disimpukan bahwa nilai seorang anak tidak dapat disamakan dengan harta benda.

Slamet ing salami-lami, bermakna selamat untuk selama-lamanya. Makna kalimat tersebut adalah sang bayi diharapkan selamat sampai akhir hayat. Hal ini merupakan manifestasi sebuah harapan dan doa kepada seseorang supaya lepas dari segala bentuk mara bahaya dan “dunia kegelapan” yang akan mengganggu langkahnya menuju “kesempurnaan”. Kesempurnaan yang dimak-sud di sini adalah sebuah proses pencapaian kematangan fisik maupun psikis seseorang menuju terpenuhinya kebutuhan duniawi maupun surgawi.

Pada/bait 3 :

Glewo gewalagang, (cantik/cakep dan perkasa)

Sabawane nangis ngguyu, (tingkah laku menangis dan tertawa)

Mimik pipis lan kalegan, (minum, pipis, dan perasaan lega)

Yayah rena sambung rasa. (siang malam saling cinta)

Pemaknaan syair atau bait tiga dapat dinterpretasikan sebagai berikut :

Glewo gewalagang yang makna harfiahnya cantik/cakep dan perkasa dapat dimaknai sebagai cantik secara fisik maupun “cantik” dalam perbuatan yang mengutamakan kebajikan dan kebermanfaatan bagi orang lain, agama, maupun bangsa dan negara. Hal ini berkaitan dengan konsep orang Jawa “amemangun karyenak tyasing sasama yang artinya membangun suasana yang tenteram bagi sesama manusia. Sedangkan kata gewalagang atau perkasa dapat diinter-pretasikan sebagai kuat secara lahir dan batin dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup.

Sabawane nangis ngguyu, dapat diinter-pretasikan sebagai dinamika hidup yang penuh dengan suka maupun duka. Suka dan duka harus dimaknai sebagai sumber pengalaman dan pengetahuan sebagai proses menuju kematangan emosional seseorang.

Mimik pipis lan kalegan. Minum (mimik) dapat dimaknai sebagai menimba ilmu pengetahuan dari orang yang lebih tua atau kompeten. Pipis dimaknai sebagai sumbangsih pemikiran dan perbuatan yang berguna bagi sesama. Sedangkan perasaan lega atau puas dimaknai sebagai rasa kepuasan emosional setelah mendapatkan maupun mengamalkan pengetahuan dan pemikiran.

Yayah rena sambung rasa dengan makna harfiah siang malam saling cinta, dapat diinterpretasikan sebagai rasa kebersamaan yang harus dibangun oleh seseorang dengan orang tua, sanak saudara, dan masyarakat yang harus dilakukan di setiap saat. Hal ini mengajarkan proses seseorang dalam berinteraksi dengan sesama untuk membentuk budaya.

Pada/bait 4 :

Twajuh nggulawentah, (tekun mengelola)

Tresna asih rina wengi, (siang malam saling cinta)

Titi tlaten tan angresah, (teliti, rajin dan tidak mengeluh)

Ginadhanganom utama, (semoga menjadi orang yang baik)

Pemaknaan syair atau bait empat dapat dinterpretasikan sebagai berikut:

Twajuh nggulawentah makna harfiahnya adalah tekun mengelola yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya. Kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai keiklasan hati akan perbuatan yang didharmabaktikan kepada sesama. Dharma bakti mempunyai esensi tidak mengharapkan balas budi dalam bentuk apapun.

Tresna asih rina wengi, mempunyai makna harfiah siang malam saling cinta antara seorang ibu (orang tua) dengan anaknya. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai manifestasi rasa saling memiliki atau rasa saling “handarbeni” yang tiada berkesudahan. Handarbeni memiliki makna merawat (memelihara), melindungi, dan bertanggung jawab pada sesama.

Titi tlaten tan angresah, mempunyai makna harfiah teliti, rajin dan tidak mengeluh yang dilakukan seorang ibu dalam mengasuh anaknya. Hal ini dapat dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pekerjaan dan anak buahnya. Pemaknaan ini masih terkait dengan konsep kepemimpinan orang Jawa “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai jiwa: (1) dapat memberikan contoh bagi anak buahnya, (2) ikut berpartisipasi dengan anak buahnya dalam menjalankan pekerjaannya, dan (3) dapat mengikuti dan memberi motivasi kepada anak buahnya dalam menjalankan tugasnya.

Ginadhang anom utama, mempunyai makna harfiah harapan yang ditujukan kepada anaknya untuk menjadi pemuda yang baik, sukses, dan terhormat. Kata baik, sukses, dan terhormat cenderung diinterpretasikan sebagai keberhasilan yang berorientasi pada watak atau karakter baik yang dimiliki oleh seseorang. Watak atau karakter individu yang baik diharapkan dapat diabdikan kepada kepentingan masyarakat, agama, serta bangsa dan negara

Penutup

Seni Karawitan Tradisi Jawa mempunyai peran membentuk budaya dan karakter manusia dengan mengajarkan nilai-nilai ajaran hidup melalui judul, syair, dan musikalitas gending. Para seniman pencipta dalam membuat gending selalu bertujuan menyampaikan pesan tertentu. Audience sebagai komunikan harus menganalisis atau menginterpretasikan terlebih dahulu untuk menangkap isi pesan yang disampaikan seniman pencipta.

Gendhing Cucur Bawuk adalah sebuah gending yang memuat kandungan filosofi. Nilai filosofi yang diungkapkan dalam gending tersebut antara lain: (1) Pelajaran untuk berani berjuang dan berkorban, (2) Pelajaran untuk selalu berdoa, bersyukur, memohon, dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, (3) Pelajaran untuk selalu berinteraksi dengan sesama, keluarga, dan masyarakat, (4) Pelajaran untuk selalu tekun dalam bekerja, (5) Pelajaran untuk menjadi orang yang baik, sukses, dan terhormat, (6) Pelajaran untuk selalu berbuat yang bijaksana dalam menyelesaikan masalah, (7) Pelajaran untuk mampu menilai perbuatan baik dan buruk, dan (8) Pelajaran untuk mampu menyelesaikan permasalahan.

Nilai-nilai ajaran hidup atau filosofi yang terkandung dalam sebuah gendhing selalu bernilai positif dalam rangka membentuk manusia berbudi pekerti luhur. Ajaran tersebut perlu dipahami, direnungkan, dan diimple-mentasikan dalam hidup sehari-hari.

(**)

Referensi:

Kuntowijoyo, (2004) Raja, Priyayi, dan Kawula. Yogyakarta: Ombak

Sumarsam, (2003) Gamelan : Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

R. Supanggah,.... Balungan (Disertasi)

Saksono Rawita, .......Kumpulan Gending Gagrag Surakarta

Sukimin Dwijaatmaja,.......Gerongan Bedayan Gending Cucur Bawuk

***********

Jenius adalah orang yang mampu membuat hal-hal yang rumit menjadi sederhana (CW. Ceram)

Anda harus percaya bahwa keprcayaan itu ada, kalau tidak, ia tidak akan datang kepada Anda (Douglas Mallock)

Lakukanlah semua kebaikan yang dapat kamu lakukan, dengan sedalam kemampuanmu, dengan semua cara yang kamu bisa, di segala tempat, setiap saat kepada semua orang, selama kamu bisa (Samuel Wesley)

Mereka yang tekun bekerja, tidak pernah kecewa; sebab semua tercapai dengan kegigihan dan bekerja keras (Menander)

Akar dari pendidikan pahit, tapi buahnya manis (Aristoteles)

Orang yang membiarkan dirinya berbohong sekali akan menyadari bahwa lebih mudah berbohong untuk kedua dan ketiga kali sampai menjadi kebiasaan (Thomas Jefferson)

Kejujuran adalah kebijakan yang paling baik (Miguel de Cervantes)

Jangan lupakan kebaikan-kebaikan kecil yang kita terima dan jangan mengingat-ingat kesalahan-kesalahan kecil orang lain (Peribahasa Cina)

PERJALANAN KONGRES KEBUDAYAAN DI INDONESIA (1918-2003)

|

NO

NAMA/TEMA

POKOK BAHASAN

TEMPAT

KEGIATAN TAMBAHAN

1.

Congres voor Javanschee Cultuur Ontwikkeling

Tema:

Pengembangan Kebudayaan Jawa

Pemrakarsa:

Pangeran Prangwadono

1. Perlunya pelajaran sejarah

2. Pengembangan Kebudayaan Jawa

3. Penguasaan Ilmu Pengetahuan Barat

Surakarta Th 1918

Pergelaran Musik, tari Wireng, Wayang Orang, dan mengunjungi Prambanan

2.

Congres van het Java Instituut

Tema:

Pengajaran Kebudayaan

Pemrakarsa:

Java-Instituut

1. Pengajaran sejarah Jawa, Sunda, Madura, dan Bali

2. Pengajaran kebudayaan Jawa, Sunda, Madura, dan Bali

Surakarta

Th 1919

3.

Congres van het Java Instituut

Tema:

Pendidikan dan Sejarah Seni

Pemrakarsa:

Java-Instituut

1. Pendidikan Seni Musik dan Sejarah Pada pendidikan Bumiputera

2. Pelestarian dan Pengembangan Seni Musik

3. Perbandingan Seni musik sekarang dan Masa lalu

Bandung

Th 1921

Pergelaran Tari, Musik Sunda, Tonil, Lutung Kasarung, dan Pameran Seni Ukir

4.

Congres van het Java Instituut

Tema:

Pelestarian dan Pemanfaatan Warisan Budaya

Pemrakarsa:

Java-Instituut

1. Sejarah bangunan kuno di Jawa

2. Nilai yang terkandung dalam bangunan kuno untuk kebudayaan Jawa masa kini dan akan datang

3. Pelestarian dan pemanfaatan bangunan kuno

Yogyakarta

Th 1924

Pergelaran Tari Bedoyo, Wayang Wong, Wayang Kulit dan kunjungan ke candi Prambanan dan Kota gede

5.

Congres van het Java Instituut

Tema:

Bahasa, Seni

Pemrakarsa:

Java-Instituut

1. Musik Hindu-Jawa di Jawa Timur

2. Sejarah dan manfaat bangunan Majapahit

Surabaya

Th 1926

Pergelaran Wayang wong, Tari Srimpi, Pasar tahunan dengan pameran

6.

Congres van het Java Instituut

Tema:

Pengajaran Kebudayaan di perguruan tinggi

Pemrakarsa:

Java-Instituut

1. Pengajaran Satra, Filsafat, dan Budaya Timur di Perguruan Tinggi

2. 10 tahun Java-Instituut

Surakarta

Th 1929

Pergelaran permainan rakyat (anak-anak), Klenengan, Wayang wong, mengunjungi sri wedari dan Radya Pustaka

7.

Congres van het Java Instituut

Tema:

Kebudayaan dan kehidupan masyarakat Bali

Pemrakarsa:

Java-Instituut

1. Bangunan tua di Bali

2. Kehidupan keluarga masyarakat Bali

3. Kehidupan Sosial masyarakat Bali

4. Seni kerajinan Bali

Bali

Th 1937

Pergelaran aneka tari, Gong Kebyar, pembacaan lontar, pameran kerajinan dan kunjungan ke Kehen, Gunung Kawi, Goa Gajah, Kintamani

8.

Kongres Kebudayaan Indonesia

Tema:

Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat

Pemrakarsa:

Pusat Kebudayaan

Kedu

1. Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat oleh Ki Mangoensarkoro

2. Kebudayaan dan Hukum Masyarakat oleh prof. Mr. Djokosoetono

3. Kebudayaan dan Pembangunan ekonomi oleh Prof. Mr. Soenarja Kolopaking

4. Kebudayaan dan Pembangunan Kota-kota oleh Prof. Ir. Poerbodiningrat

5. Kebudayaan dan Pembangunan negara oleh Mr. Koentjoro Poerbopranoto

6. Kebudayaan dan Pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara

7. Kebatinan sebagai alat dalam Pembangunan Negara oleh Ki Ageng Soerjomentaram, dr. Radjiman Wedjodiningrat dan Ki Mangoensarkoro

Magelang

Th 1948

Pergelaran Musik ”Gentono” dari Surakarta, Konser Musik Kepolisian Negara, Tari Minang, Tari Jawa, Bali, Tari Nusantara, Pencak Silat dan Pameran kebudayaan seni dan Kerajinan

9.

Kongres Kebudayaan Indonesia

Tema:

Kritik Seni dan Hak Cipta

Pemrakarsa:

Lembaga kebudayaan Indonesia

1. Mengenai Hak Mengarang

2. Mengenai Perkembangan Kesusastraan

3. Mengenai Kritik Seni

4. Mengenai Sensor Film

5. Mengenai Organisasi Kebudayaan

Bandung

Th 1951

Pergelaran Drama oleh Ratu Asia, musik Gentono dan berbagai macam tarian serta pameran kebudayaan

10.

Kongres Kebudayaan Indonesia

Tema:

Pendidikan Kebudayaan

Pemrakarsa:

Badan Muusyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN)

1. Pendidikan Kebudayaan dalam Masyarakat Sekolah

2. Pendidikan kebudayaan untuk masyarakat kota

3. Pendidikan kebudayaan untuk masyarakat buruh dan tani

Surakarta

Th 1954

11.

Kongres Kebudayaan Indonesia

Tema:

Kebudayaan dan Arsitektur

Pemrakarsa:

BMKN

1. Hubungan arsitektur dengan Seni Rupa oleh Syafei Sumardja (ASRI Bandung)

2. Penyelenggaraan Kesenian Semasyarakat oleh Trisno Sumardjo (BMKN)

3. Kebudayaan dan Konstitusi oleh M. Isa (PGRI Jakarta)

Denpasar

Th 1957

12.

Kongres Kebudayaan Indonesia

Tema:

Kebudayaan dan Ekonomi

Pemrakarsa: BMKN

Pemrasaran adalah:

1. Prof. Soediman Kartohadiprojo

2. Drs. Sudjoko

3. Sarino Mangunpranoto

Bandung

Th 1960

13.

Kongres Kebudayaan Indonesia

Tema:

Kebudayaan Kita, Kemarin, Kini dan Esok

Warisan Budaya, Penyaringan dan Pengembangan

(dengan 5 topik dan dijabarkan dalam 19 makalah)

Jakarta

Th 1991

14.

Kongres Kebudayaan Indonesia

Tema:

Konsep, Kebijakan, dan Strategi Kebudayaan Indonesia

Pemrakarsa:

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

1. Integrasi dan Disintegrasi

2. Krisis Otoritas

3. Desentralisasi Politik (Otoda)

4. Identitas dan transisi

5. Konflik dan Kekerasan

6. Warisan Budaya (Cagar, Ilmu, Seni dan Budaya)

7. Kesetaraan Gender

8. Hukum, Produktivitas, dan Korupsi

9. Reinterpretasi dan Reposisi Alat dan Tradisi

10. Pendidikan

11. Ekonomi Kerakyatan

12. Bahasa dan Simbol

13. Budaya Pop dan Seni Hiburan

14. Religi dan Spiritualitas

15. Ilmu Pengetahian dan Teknologi

16. Lingkungan Hidup

Catatan: Pokok Bahasan No. 11 dan 16 diusulkan pada prakongres di Denpasar, Bali

Bukittinggi

Sumatera

Barat

Th 2003

· Festival Seni Pertunjukan Tradisional diselenggarakan di Padang. Festival Pedati dan festival Budaya, Makanan Tradisional

· Pameran Liukisan Anak-anak, Tekstil Nusantara, Budaya Nusantara, Kerajinan.

· Pembacaan Puisi Taman Jam Gadang

· Kemah Budaya

· Lomba Pantun, Kritik Seni, Tari Poco-poco, Pakaian Bell Boy, Bordir, Rias Pengantin

· Parade Permainan Anak-anak, Pakaian Pengantin


Sumber:

Supardi, Nunus, 2007. Kongres Kebudayaan (1918-2003), Yogyakarta: Ombak.