Representasi Kreatif Seniman Dalam Candi Tigawangi (5)

|
Oleh: Toto Sugiarto Arifin

Raksasa yang ada di sebelah timur selatan sepertinya sudah kelelahan, dengan posisi badan yang agak miring ke kanan, tetapi walau bagaimana pun tangan tetap menahan badan candi. Tampilan rambut raksasa ini agak berbeda dengan tampilan rambut raksasa lainnya, yaitu menampilkan rambut yang lurus, sedangkan hiasan pengisi ruang kosong masih tetap menggunakan stilasi dari tumbuh-tumbuhan. Adapun raksasa yang berada di sebelah timur tengah, penampilannya hampir sama dengan raksasa pada posisi selatan barat, hanya karakter mukanya yang sedikit berbeda.

Raksasa yang berada di timur utara menunjukkan punya cara berbeda dalam mengangkat badan candi, ia tidak menggunakan tangannya untuk mengangkat, tetapi menggunakan bahu dan tengkuknya, sedangkan kedua tangan menopang lutut untuk mendorong badan candi naik ke atas. Kedua kaki dengan kokoh ditekuk untuk menahan kedua tangannya. Hiasan pengisi ruang kosong tetap menggunakan hiasan flora dengan bentuk ukel.

Adegan dua figur yang sedang memotivasi raksasa yang sedang mengangkat badan candi, dengan sikap mengejek muncul kembali pada relief ’tiang’ sebelah utara timur. Namun posisi kaki raksasa tidak memberi kesan menghadap ke depan, tetapi agak menyamping kiri, dengan penampilan satu kaki lebih di muka dan satunya lebih ke belakang. Walaupun secara perspektif tampilan itu tidak benar, namun kesan yang ditampilkan bisa ’bercerita’ bahwa raksasa itu agak menghadap ke samping. Adapun flora masih tetap menjadi hiasan-hiasan pengisi ruang kosong, sedangkan relief bagian utara tengah masih dalam proses dan belum jadi.

Relief ’tiang’ paling utara barat menyerupai adegan raksasa pada ’tiang’ selatan barat, namun mukanya agak menunduk dan menghadap ke samping kiri, sedangkan hiasan-hiasan pengisi ruang kosong tetap menampilkan tumbuh-tumbuhan. Pada ketiga relief ’tiang’ sisi utara tersebut menunjukkan banyak informasi. Pertama, relief-relief raksasa pada ’tiang-tiang’ tersebut dapat dipastikan tidak dibuat oleh satu seniman, hal ini ditunjukkan bahwa relief ’tiang’ sebelah utara timur sudah jadi, utara tengah belum jadi, sedangkan yang utara barat sudah jadi. Naluri manusia biasanya bekerja secara berurutan, sedangkan pada relief sisi utara bagian tengah belum jadi tetapi kanan-kirinya sudah jadi, maka dapat diduga bahwa relief-relief tersebut dibuat oleh lebih dari satu orang seniman.

Dari kesembilan relief raksasa pada ’tiang’ di kaki Candi Tigawangi tidak ada satu pun yang persis sama, bahkan ada kecenderungan disengaja dibuat berbeda-beda, apakah itu karakter raksasanya, posisi badan, tampilan aksesoris, pengisi ruang kosong maupun suasana yang mendukung di sekitarnya. Hal ini dapat dipastikan bahwa hal tersebut merupakan representasi dari kreativitas seniman pada waktu itu dan adanya kebebasan seniman dalam mengekspresikan respon kreatifnya terhadap satu karya yang ’diperintahkan’ kepadanya.

Candi merupakan bangunan yang suci bagi pemeluk agama Hindu-Budha, namun ternyata seniman pada saat itu merespon sesuatu yang bersifat religius, tidak harus dilakukan dengan kaku dan terpaku pada pola-pola baku/canon tertentu, tetapi dapat ditampilkan dengan penuh kebebasan dan rasa humor. Hal ini berbeda dalam cara membangun masjid atau gereja. Hiasan-hiasan yang ditampilkan cenderung simetris dan berulang-ulang. Fakta-fakta tersebut sebenarnya merupakan permasalahan yang menarik untuk diteliti secara lebih mendalam.

Berdasarkan tampilan-tampilan bentuk relief tadi ternyata dengan bentuk yang tidak realistis, telah mampu memberi pesan apa yang dilakukan oleh satu figur, jadi dalam sebuah komunikasi dengan bahasa visual tidaklah harus selalu ketepatan bentuk yang terpenting, tetapi yang utama adalah tampilan ekspresi, sehingga seorang penikmat karya seni itu dapat dengan mudah menangkap sebuah makna yang ditampilkan oleh satu adegan dalam relief candi.

Namun walau bagaimana pun kebebasan itu diberikan pada seorang seniman, tetap saja ada karakter-karakter umum yang harus diikutinya. Seperti tampilan raksasa memiliki ciri umum, sehingga dengan mudah dapat ditetapkan bahwa figur tersebut adalah raksasa. Yaitu dengan ciri khas matanya yang dibuat bentuk membulat, sehingga mengesankan melotot dan mulut yang bertaring. Itulah bentuk universal dari figur raksasa.

Kesimpulan

Menelusuri artefak hasil karya nenek moyang, sering kali dikejutkan dengan banyaknya kekayaan kreativitas yang telah dibuat oleh seniman masa lampau yang muncul kembali di masa kini tanpa kita menyadarinya. Banyak wujud-wujud kreativitas saat itu yang melampaui jamannya dan baru sebagian dimengerti saat ini dan masih banyak lagi ujud rupa hasil karya nenek moyang yang masih menjadi misteri, menunggu pewarisnya untuk mengungkap makna yang sebenarnya dan mentransformasikan dalam kehidupan masa kini. (*)

Kepustakaan:

Holt, Claire. (1967). Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. R.M. Soedarsono. (2000). Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung.

Kusen, at al.(1993). “Agama dan Kepercarayaan Nasyarakat Majapahit”, dalam Sartono Kartodirdjo, et al. 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993) Suatu Bunga Rampai. CV. Tiga Dara, Surabaya.

Mookerjee, Ajit. (1985). Ritual Art of India. Thames and Hudson, London.

Peursen, C.A. van. (1988). Strategi Kebudayaan. Kanisius, Yogyakarta.

Sutrisno SJ, Fx. Mudji dan Christ Verhaak SJ. (1993). Estetika: Filsafat Keindahan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Penerbit ITB, Bandung.

Soedarso Sp. (2006). Trilogi Seni; Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni. Badan Penerbit ISI Yogyakarta, Yogyakarta.

Soedjono, Soeprapto. (2006). “Trasformation of Aesthetics Form: The Case of Ramayana Panel-Relief of Prambanan Temple.” Jurnal Mudra, Bali.

Stutterheim. (t.t.). “Arti Candi-candi Jawa-Hindu”, dalam Soedarso Sp. ed. Proses Pembentukan, Pertemuan antara Kebudayaan Indonesia Asli dengan Kebudayaan India. Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI Yogyakarta, Yogyakarta.

Sudhi, Padma. (1983). Aesthetic Theory of India. Bhandarkar Oriental Research Institute, Poona, India.

Sukmono, dan Inajati Adrisijanti Romli. (1993). “Peninggalan-peninggalan Purbakala Masa Majapahit”, dalam Sartono Kartodirdjo, et al. 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993) Suatu Bunga Rampai. CV. Tiga Dara, Surabaya.

Tanudirjo, Daud Aris. (1993). “Pertanian Majapahit Sebagai Puncak Evolusi Budaya”, dalam Sartono Kartodirdjo, et al. 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993) Suatu Bunga Rampai. CV. Tiga Dara, Surabaya.

Thwaites, Tony, et al. (1994). Tools for Cultural Studies an Introduction. Macmillan Education Australia PTY LTD, Melbourne.

Wolff, Janet. (1981). The Social Production of Art. Library of Congress Cataloging in Publication Data, New York.

Representasi Kreatif Seniman Dalam Candi Tigawangi (4)

|
Oleh: Toto Sugiarto Arifin

Kreativitas dalam Relief Candi Tigawangi

Candi Tigawangi terletak dekat Pare, Kediri. Dalam Negarakrtagama candi itu memang disebut Candi Tigawangi yang berdasarkan keterangan tersebut dibangun oleh Raja Matahun ipar dari Raja Hayam Wuruk. Bangunan ini ditinggalkan ketika proses pembangunannya belum selesai, dibuktikan dengan adanya beberapa relief yang dibuat masih setengah jadi. Dugaan tersebut diperkuat dengan beberapa keterangan lainnya bahwa saat itu masa-masa yang penuh dengan pergolakan sosial politik dan pengaruh Islam yang mulai mendesak kepercayaan Siwa.

Candi Tigawangi bersifat Siwaistis dengan hiasan-hiasan relief yang sangat menarik, baik langgam maupun ceritanya. Kaki candi dihiasi dengan adegan-adegan cerita Sudamala, yang memiliki konsep pembebasan manusia dari segala macam bahaya dan umur yang pendek. Dengan demikian penampilan relief menciptakan suasana pembebasan dari suatu bahaya, seperti yang dialami oleh Dewi Uma.

Inti cerita Sudamala adalah pembebasan Dewi Uma, sakti Batara Guru (Siwa) yang telah dikutuk oleh suaminya menjadi raseksi, yaitu Durga. Ia bisa terbebas dari kutukan hanya melalui seorang satria Pandawa yang bernama Sadewa. Namun Sadewa tidak mau membebaskan Durga, sehingga Durga marah besar dan ia menangkap Sadewa serta mengikatnya pada sebatang pohon. Untuk mendesak agar Sadewa mau membebaskan Durga, ia dibantu oleh dua orang peri yang juga telah dikutuk menjadi raksasa dan dibantu oleh raksasa-raksasa lainnya dan hantu-hantu. Hantu-hantu tersebut digambarkan seperti sebuah tangan terpisah, binatang yang besar dan lain sebagainya. Namun akhirnya Sadewa tidak tahan dengan siksaan itu, sehingga ia membebaskan Durga kembali menjadi Dewi Uma, maka sakti Batara Guru tersebut terbebaslah dari kutukan (Soedarmo, 1982: 103).

Yang menarik dari relief candi ini di antaranya adalah gambar-gambar raksasa yang berada dalam ’tiang’ kaki candi, yang berjumlah sembilan. Tiga ’tiang’ di sisi selatan, tiga ’tiang’ di sisi timur, dan tiga ’tiang’ di sisi utara. Namun relief ’tiang’ yang sebelah utara belum jadi semuanya, terutama relief pada ’tiang’ yang tengah. Semua relief raksasa tersebut digambarkan dengan bentuk, suasana, posisi yang berbeda walaupun dengan tetap menampilkan kesan utama yang sama, yaitu raksasa yang sedang mengangkat badan candi.

Perbedaan penggambaran raksasa tersebut diasumsikan bukan berarti ketidakmampuan seniman pada saat itu untuk membuat bentuk yang sama, namun disengaja sebagai suatu respon kreatif dari seniman saat itu. Kreativitas dan kebebasan dalam merespon suatu ajaran pada saat itu sangat mengejutkan, ternyata seniman diberi kebebasan yang luas untuk menafsirkan sebuah ’instruksi’ dari pemuka agama.

Pada relief paling barat selatan menggambarkan seorang raksasa dengan penuh semangat dan tegas mengangkat badan candi. Kedua kaki ditekuk dan kedua tangan menyangga badan candi, sehingga mengesankan sedang berusaha dengan keyakinan tinggi mengangkat badan candi tersebut. Nilai-nilai kreativitas selain dari perwujudan raksasa, juga dapat dilihat dalam cara pengisian ruang kosong yaitu dengan ditampilkan bentuk daun-daun yang lebar dan beberapa sulur-sulur seperti pohon pakis.

Namun tampilan raksasa yang ada di ’tiang’ selatan tengah mengekspresikan sebuah tampilan yang berbeda jauh dengan raksasa yang pertama. Posisi tangan dan kaki tetap sama dengan posisi yang pertama, tetapi muka tidak menghadap ke depan namun menghadap ke arah samping atas, seperti sedang melihat badan candi yang sedang diangkatnya. Ekspresi yang ditampilkan oleh raksasa tersebut mengesankan kurang percaya diri dan seperti kelelahan. Tampilan kepala raksasa ini juga berbeda, yaitu dengan kepala gundul dan tanpa hiasan. Untuk mengisi ruang kosong ditampilkan beberapa daun besar dan ukel, sebagaimana pada adegan yang pertama.

Pada raksasa yang berada di ’tiang’ selatan timur, menampilkan suasana yang berbeda, dengan adanya dua figur lainnya yang sedang memberi motivasi kepada raksasa yang sedang mengangkat badan candi. Namun kedua figur tersebut mengekspresikan kesan sedang mengejek raksasa. Figur pertama dengan rileks kedua tangannya diletakkan di belakang sambil tertawa, sedangkan figur yang kedua lebih kelihatan ekspresi mengejeknya, yaitu dengan gerakan menepuk-nepuk pantatnya untuk memotivasi raksasa. Tampilan raksasa ini agak berbeda dengan tampilan sebelumnya, terutama posisi kaki. Satu kaki ditekuk seperti sedang jongkok, tetapi yang satunya posisinya seperti orang bersila dan ini memberi kesan bahwa raksasa tersebut telah lama mengangkat badan candi. Secara keseluruhan pada adegan ini di samping tampilan yang serius, juga terdapat tampilan yang mengesankan rasa humor, sebagai satu representasi nilai kreatif seniman pada waktu itu.

Representasi Kreatif Seniman Dalam Candi Tigawangi (3)

|
Oleh: Toto Sugiarto Arifin

Keindahan dan Representasi Seni

Candi Tigawangi merupakan hasil akulturasi antara kebudayaan India dengan kebudayaan Jawa ’asli’. Tentu saja keindahan dari relief candi itu merupakan perpaduan keindahan India dan Jawa dan perpaduan keindahan tersebut bukanlah sesuatu hal yang baru tumbuh pada zaman Jawa Timur, tetapi sejak pertama kali kebudayaan India ’menyentuh’ kebudayaan Jawa di Jawa Tengah, akulturasi tersebut telah nampak dengan jelas seperti yang disinyalir oleh Tagore ketika berkunjung ke Indonesia. Hal serupa juga dikemukakan oleh Seoprapto Soedjono (2006: 8) bahwa ”...faces are so characterized but the other faces as well as gesture of hands, feet, and limbs are remain conventionalized, as they are in most parts were derived from combining Indianizing art tradition with local indigenous tradition.”

Keindahan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari istilah seni, bahkan sebagian orang awam beranggapan bahwa seni itu harus mengandung nilai-nilai keindahan, walaupun paham ini ditentang oleh sebagian ahli, karena seni tidak harus selalu indah. Namun paham kedua itu masih tergantung dengan jawaban atas pertanyaan pertama, yang bagaimana yang indah itu (Soedarso, 2006: 11). Keindahan dalam kebudayaan India telah memiliki aturan-aturan atau kaidah-kaidah tertentu, yang membimbing seniman dalam membuat sebuah karya. Keindahan dalam konsep India bukan apa yang dapat dilihat, didengar atau diraba, tetapi keindahan adalah ada di dalam jiwa atau antahkarana. Untuk mencapai keindahan yang paling hakiki diperlukan satu konsentrasi dan meditasi. Seperti yang dijelaskan oleh Padma Sudhi (1983: 5) “when these senses move to the internal world of pure-consciousness, from aesthetic mood to aesthetic taste and from aesthetic taste to aesthetic enlightenment, they reach the aesthetic realization through the practice of concentration and meditation.”

Keindahan sebagai pencerahan hanya dapat dicapai melalui meditasi atau yoga. Perilaku seperti itu juga seringkali dilakukan oleh seniman-seniman tradisional di Jawa, yaitu sebelum menciptakan sebuah karya, mereka harus melalui laku, artinya melakukan satu tindakan seperti puasa, kontemplasi atau perenungan, bahkan melalui meditasi. Setelah itu baru akan dihasilkan sebuah karya yang memiliki nilai keindahan tinggi.

Selanjutnya menurut Sutrisno (Soetrisno, 1993: 94-96) filsafat keindahan India dapat ditelusuri dalam tulisan Bharata. Bharata menulis Natyasastra (Kitab tentang pentas); abad ke-5 atau ke-6 M, yang membedakan antara rasa dan bhava. Bahwa bhava merupakan reaksi-reaksi murni; emosi-emosi yang muncul begitu saja tanpa terkendali. Terdapat 8 bhava, yaitu; senang, marah, sedih, gembira, bulat-tekad, takut, benci, kagum, sedangkan rasa adalah emosi-emosi yang sudah tersaring, sehingga menghasilkan sebuah karya seni. Selanjutnya Sankuka yang hidup pada abad ke-10 M menjelaskan bahwa rasa bukanlah puncak bhava, tetapi bayangan penggandaan emosi. Pengalaman estetika berada di luar permasalahan benar dan tidak benar. Rasa itu merupakan persepsi self evident, tetapi Abhivagupta memberi kritik atas pandangan Sankuka. Kesenian bukanlah suatu imitasi, tetapi cara baru untuk melihat hidup nyata. Akhirnya Bhatta Tauta menyampaikan bahwa rasa itu pertama-tama ada di dalam batin sang penyair (kavi). Hanya orang yang bisa beridentifikasi diri dengan yang dilihatnya, yang bisa mengalami rasa. Itu terwujud dalam takjub dan kagum yang memberinya kebahagian estetika. Adapun rasa adalah merupakan pengolahan atas emosi atau bhava yang bersifat personal oleh seniman dan dimurnikan serta dikombinasikan dengan rasa lain, secara artistik sehingga menjadi universal (Soedarso, 2006: 174).

Karya yang ditampilkan dari proses kontemplasi merupakan representasi pengalaman seniman atas perjalanan hidupnya. Representasi berarti sebuah tanda untuk sesuatu yang diwakilinya. Ketika melihat relief dalam candi yang menggambarkan seorang yang sedang mancing, itu menandakan bahwa masyarakat pada saat itu telah melakukan aktivitas seperti itu. Secara semantik, representasi bisa diartikan to depict, to be a picture of, atau to act or to speak for (in the place of, in the name of) somebody (Noviani, 2002: 61). Artinya representasi bukan mewakili dirinya sendiri tetapi mewakili sesuatu hal lain.

Istilah representasi dalam seni menurut Sumardjo (2000: 76) dapat mengandung arti sebuah gambaran yang melambangkan atau mengacu kepada kenyataan eksternal. Atau dapat berarti pula ‘mengungkapkan ciri-ciri umum yang universal dari alam manusia’. Di samping itu pula representasi juga berarti menghadirkan bentuk-bentuk ideal yang berada di balik kenyataan alam semesta. Representasi seni adalah upaya mengungkapkan kebenaran atau kenyataan semesta sebagaimana ditemukan oleh senimannya.

Karya seni adalah kerja yang serius, sama seriusnya dengan ilmuwan yang mencari kenyataan baru dari gejala alam. Perlu ada kerja keras, perlu ada pengamatan data, perlu ada ketajaman intuisi dalam melihat kebenaran di balik permukaan, perlu penguasaan teknik seni yang tinggi dan cerdas, agar lahir sebuah karya seni dalam modus tertentu, baik mimesis maupun imajinatif-idealis.

Representasi Kreatif Seniman Dalam Candi Tigawangi (2)

|
Oleh: Toto Sugiarto Arifin

Relief dan Kreativitas

Kebudayaan masa lalu di pulau Jawa dapat dilihat dalam perwujudan relief-relief candi. Bagaimana sistem pertanian masa itu dilakukan, bagaimana komunikasi disampaikan, bagaimana agama diajarkan, bagaimana hubungan kekeluargaan dilaksanakan, dan masih banyak lagi informasi yang didapatkan dari sederetan cerita relief candi. Relief merupakan suatu gambaran cerita yang dipahatkan di atas batu, kayu atau bahan-bahan lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 830), relief merupakan pahatan yang menampilkan perbedaan bentuk dan gambar dari permukaan rata di sekitarnya atau gambar timbul pada candi.

Relief dalam bahasa Indonesia sepadan dengan kata ’peninggian’, dalam arti kedudukannya lebih tinggi daripada latar belakangnya, karena dikatakan relief memang senantiasa ”berlatar belakang”, karena peninggian itu ditempatkan pada suatu dataran. Menurut tinggi rendahnya relief dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis, yaitu relief tinggi (high relief); relief sedang (middle relief); relief rendah (low relief); relief datar (crushed relief); relief rendah (hollow relief) (Susanto, 2002: 97). Adapun relief yang terdapat di candi Tigawangi dapat diklasifikasikan pada relief sedang.

Relief candi adalah karya seni rupa yang dulunya sebagai salah satu media komunikasi dalam mendokumentasikan dan menyampaikan ajaran agama dan kehidupan sosial yang ada kaitannya dengan nilai baik dan buruk. Jadi fungsi relief adalah sebagai media komunikasi, sehingga aspek bahasa rupa melalui cerita menjadi penting. Mengingat relief sebagai media komunikasi, maka dalam perwujudannya harus mudah ditangkap dan dipahami secara benar oleh masyarakat waktu itu, dengan demikian diperlukan kreativitas seorang seniman dalam menghasilkan karya-karya relief tersebut. Kreativitas merupakan satu kemampuan membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada (Munandar, 1999: 47). Dengan demikian pembuatan relief candi zaman Majapahit selain berdasarkan cerita-cerita yang disampaikan secara lisan, diasumsikan pula berdasarkan data dan informasi saat itu mengenai relief-relief candi sebelumnya, baik relief candi zaman Singasari maupun relief candi zaman Jawa Tengah.

Dalam proses kreatif sesungguhnya apa yang diciptakan itu tidak perlu hal-hal yang baru sama sekali, tetapi merupakan gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Yang dimaksudkan dengan data atau informasi, dalam arti sudah ada sebelumnya, atau sudah dikenal sebelumnya, adalah semua pengalaman yang telah diperoleh seseorang selama hidupnya. Adapun ciri-ciri kreatif dapat diidentifikasi dari kemampuan seseorang dalam berkarya secara fleksibel, orisinil, lancar, dan elaboratif.

Menurut Soemardjo (2000: 82), dalam perkembangan ilmu seni, telah ditemukan teori-teori tentang kreativitas, antara lain teori Emosi, teori Genius, dan teori Bawah Sadar. Teori Emosi menekankan kreativitas dari aspek emosi manusia. Seni yang baik, seni yang kreatif, adalah seni yang mengandung bobot emosi orisinal senimannya. Tetapi, bobot emosi orisinal yang meluap-luap itu harus diarahkan atau dikontrol oleh pikiran. Artinya emosi itu haru diberi bentuk, diberi struktur, diatur dalam pola tertentu. Seni yang mengungkapkan penderitaan, bukan luapan atau ekspresi orang yang sedang menderita. Seniman tidak harus menderita terlebih dahulu, baru ia bisa mengungkapkan penderitaan itu dalam karyanya. Yang penting apakah karyanya mampu menciptakan perasaan derita itu.

Teori Genius menekankan lahirnya ’jiwa besar’ (greatness of soul) dalam sebuah karya seni. Sebuah karya seni kreatif adalah karya yang tidak dibatasi, karya yang memiliki kualitas individual dan berbeda dari sebuah temuan sebelumnya. Nilai orisinalitas ini tentu saja tidak semata-mata individual, karena setiap karya seni, setiap penciptaan, selalu berorientasi ke luar, kepada orang lain. Ciptaan itu bukan berorientasi hanya pada diri seniman sendiri. Seni itu bukan semata-mata subjektif, tetapi juga harus bersifat objektif yang berarti berlaku benar bagi orang lain.

Teori Bawah Sadar ditemukan bersamaan dengan berkembangnya ilmu jiwa yang dikembangkan oleh Freud. Seni kreatif adalah seni yang menemukan sesuatu yang sama sekali baru yang belum pernah dikenal, tetapi secara intuitif dirasakan sebagai telah dikenal oleh seluruh sejarah umat manusia. Karya yang menghadirkan sesuatu yang tidak dikenal tetapi yang secara samar-samar telah akrab dengan pengalaman manusia lainnya, itu merupakan nilai yang dijunjung tinggi.

Representasi Kreatif Seniman Dalam Candi Tigawangi (1)

|
Sumber gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2lfzsaIVdY_y6gYrlBiObp5XQ5RjUROCv27O3xwai-diRuFdoBg9Tq6WdIELHrcOzMZIEoinuW-N8f8ONJqZLPqG8n97aWkbGUJ3DCiN1HErIJgF77x23secI83G-vMHM60hqqd2QHzQ/s320/candi%2520tegowangi.jpg

Oleh: Toto Sugiarto Arifin

Pendahuluan

Secara historis, akhir abad ke-10 telah terjadi perubahan besar di pulau Jawa, dengan memudarnya gravitasi kebudayaan di Jawa Tengah dan telah bangkitnya sinar baru atau zaman baru di Jawa Timur. Zaman baru ini telah membawa perubahan-perubahan besar terhadap kebudayaan di pulau Jawa, yaitu ditandai dengan semakin kuatnya anasir-anasir kepercayaan ‘asli’ muncul dalam proses kebudayaan di Jawa. Walaupun budaya India tetap menjadi unsur utama dalam wujud kebudayaan pada masa Jawa Timur. Unsur asli Jawa ini sebenarnya sudah muncul sejak kebudayaan India bersentuhan dengan kebudayaan Jawa pada masa Jawa Tengah, seperti yang disampaikan oleh Rabrindranath Tagore, ketika berkunjung ke Indonesia pada tahun 1927, “Saya melihat India di mana saja, tetapi saya tidak mengenalnya” (Holt, 2000: 73). Artinya bahwa kebudayaan ‘asli’ Jawa sangat kuat mempengaruhi kebudayaan yang datang dari India, sehingga Tagore melihat perbedaan-perbedaan yang signifikan antara representasi produk budaya Hindu-Budha yang ada di India dengan di tanah Jawa.

Semakin kuat munculnya kebudayaan Jawa asli di Jawa Timur disebabkan datangnya Agama Islam di tanah Jawa yang sedikit demi sedikit mengubah kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Di samping itu pula kondisi sosial politik yang tidak menentu akibat terlalu seringnya terjadi perebutan kekuasaan dalam lingkungan kerajaan, mengakibatkan rakyat menjadi gelisah dan mereka mencoba mencari pranata baru untuk mencapai kedamaian. Seperti yang dijelaskan oleh Kusen dalam buku Sartono Kartodirdjo (1993: 97), bahwa kehidupan keagamaan masa Majapahit akhir atau sekitar abad 15 mengalami perubahan, karena agama Siwa dan Budha sebagai agama negara mengalami kemunduran. Di lain pihak kepercayaan ‘asli’ muncul kembali, yang mana gejalanya telah tampak pada masa-masa sebelumnya namun perkembangannya benar-benar menonjol pada masa Majapahit akhir. Dalam suasana kemunduran itu tampaknya ada usaha-usaha untuk memperkokoh kedudukan agama Siwa dalam kehidupan keagamaan masyarakat Majapahit. Usaha yang berkaitan dengan hal tersebut dibuktikan dengan menyebarluaskan ciri Siwa, agar masyarakat Majapahit mengingat kembali agama yang dianutnya.


Upaya memperkokoh kepercayaan masyarakat tentang agama Siwa tidak begitu berhasil dengan baik, hal itu dibuktikan semakin menguatnya kepercayaan ‘asli’ hidup dalam masyarakat Majapahit pada saat itu, sehingga upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah kerajaan tidak mampu membendung berkembangnya kepercayaan ‘asli’. Salah satu faktor yang mendorong semakin pesat berkembangnya kepercayaan ‘asli’ tersebut adalah situasi sosial politik yang mengalami kegoncangan sebagai akibat masuknya agama Islam di Jawa. Wilayah kekuasaan Majapahit terutama daerah pesisir banyak yang melepaskan diri dari Majapahit, serta membentuk negara-negara Islam (Kusen: 1993: 98). Penyebaran agama Islam yang semakin luas dan kondisi politik yang kacau menimbulkan gerakan “milenarisme” dalam masyarakat.

Menurut Tanudirjo gerakan “milenarisme” memiliki konsep keinginan untuk mendatangkan jaman atau negara yang sempurna dengan pranata yang baik, karena pranata yang berlaku saat itu dianggap dalam kondisi buruk. Munculnya gerakan “milenarisme” tampaknya mendapat tanggapan yang positif, serta dapat memperkuat kedudukan masyarakat pinggiran sebagai penganut kepercayaan ‘asli’, meskipun di daerah pedalaman berkembang agama Siwa. Atas dasar pemikiran itu, tampaknya gerakan “milenarisme” dapat pula dijadikan salah satu faktor penyebab berkembangnya kepercayaan ‘asli’ pada masa Majapahit akhir (Kusen: 1993: 98). Sebenarnya kebudayaan ‘asli’ Jawa tersebut sudah tumbuh sejak zaman Jawa Tengah dan pada masa Jawa Timur semakin kuat kedudukannya. Jadi kebudayaan ‘asli’ selalu terus hidup dalam jiwa masyarakat Jawa, sejak zaman Jawa Tengah, bahkan sampai sekarang ini.

Walaupun transformasi budaya Jawa akibat pengaruh Hindu-Budha begitu kuat, bukan berarti menghilangkan kebudayaan prasejarah Indonesia, justru terjadi sintesis yang begitu harmonis, dengan tetap menampilkan budaya Jawa yang asli berbeda dengan kebudayaan India. Perbedaan-perbedaan itu semakin lama semakin terlihat dengan jelas, perbedaan tersebut ditandai dengan kenyataan bahwa patung-patung itu semakin lama semakin menunjukkan bentuk orang mati, kadangkala malahan menyerupai mummy. Kaki-kakinya diletakkan berdekatan, matanya tertutup dan perwujudan keseluruhannya merupakan satu mayat yang berpakaian kependetaan (Stutterheim: t.t.: 6).

Sebagai bagian dari perjalanan sejarah kerajaan Majapahit, salah satu peninggalannya adalah bangunan Candi Tigawangi. Kenapa candi ini menjadi menarik, hal ini disampaikan oleh Soekmono dalam bukunya Kartodirdjo (1993: 70), yang menyatakan bahwa menarik perhatian ialah bahwa Candi Tigawangi di daerah Kediri tidak tercantum sebagai dharma haji, padahal Negarakrtagama sendiri pada pupuh 82 menyatakan bahwa Curabhana adalah dharma Raja Wengker dan Tigawangi adalah dharma Raja Matahun dengan nama resminya Kusumapura. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Bhre Matahun mokta dhinarma ring Tigawangi dharmadhiseka ring Kusumapura.

Dalam kitab Negarakrtagama, bangunan-bangunan suci diklasifikasikan menjadi beberapa golongan. Bangunan suci jenis pertama adalah dharma haji, yang jumlahnya 27 dan menjadi tanggung jawab seorang dharmadhyaksa. Jenis kedua adalah dharmalepas pratistha Ciwa yang terdiri dari 9 kuti balay, 5 parhyang, 4 prasada haji dan 20 sphatikeyang, yang kesemuanya menjadi tanggung jawab seorang caiwadhyaksa atau dharmadhyaksa ring kacaiwan. Jenis ketiga adalah dharma kasogatan yang terdiri atas 43 kawinayan dan 50 kabajradaran. Penanggungjawabnya adalah bodhadhyaksa atau dharmadhyaksa ring kasogatan. Jenis keempat adalah karesyan, yang jumlahnya hanya 7 dan diawasi oleh seorang mantra ber-haji (Soekmono: 1993: 70). Membaca dari keterangan-keterangan tersebut, menjadi janggal apabila Candi Tigawangi tidak dimasukan sebagai dharma haji atau suatu bangunan suci, sampai sekarang misteri itu belum terjawab.


Problematika Kreativitas Dalam Pewayangan (3)

|
Oleh: Purwadi

Kreativitas dalam pewayangan yang dilakukan oleh dalang Ki Enthus Susmono dari Tegal lain lagi, dan sudah dapat dipastikan menimbulkan problematika baru. Ki Enthus membuat wayang dari film anak-anak yaitu Satria Baja Hitam, Superman, Batman, Monster, dan sebagainya. Tentu saja kreativitas ini banyak mendapatkan kritikan pedas sebagai dalang urakan, dalang alasan dan sebagainya. Tetapi karena kreativitasnya tersebut menjadikan dirinya sebagai dalang kondang.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kreativitas dalam wayang selalu memunculkan problematika. Ada yang pro dan kontra. Keduanya terus akan berjalan seiring perkembangan jaman dan selalu muncullah sumpah serapah bagi yang tidak senang. Demikian juga polemik yang tak ada ujung pangkalnya bagi mereka yang tidak sejalan pikirannya. Hal ini terjadi baik di panggung pertunjukan maupun di arena resmi seperti diskusi-diskusi, sarasehan, seminar, bahkan di arena jagong atau layatan. Bila masyarakat pedalangan berkumpul di situlah permasalahan ini akan keluar. Seperti bunyi rekaman yang telah sekian tahun masih sama nadanya, sama lagunya: mengeluh, kecewa dan saling menuduh. Tema dari polemik ini macam-macam. Misalnya soal tontonan dan tuntunan, mengejar selera pasar dan lain sebagainya. Memang hal ini terjadi paling banyak di kawasan gaya Surakarta di Jawa Tengah.

Sesungguhnya yang disebut kreativitas apabila ditinjau dari segi agama Islam selama hal tersebut masih tergolong urusan dunia sebenarnya sah-sah saja dan diperbolehkan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: antum a’lamu biumuri dunyakum, yang artinya, kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu. Dari sini dapat dipahami bahwa untuk urusan dunia manusia dibebaskan. Tetapi dalam urusan ibadah kepada Allah telah diatur dalam Al-Quran dan Hadits. Pengaturan tersebut telah sempurna, sehingga tidak boleh ditambah-tambah dan diubah-ubah. Haram hukumnya berkreatif dalam urusan menyembah kepada Allah sang Pencipta. (*)

Kutipan:

1. A. Seno Sastroamidjojo, Nonton Pertunjukan Wayang Kulit". Pertjetakan Republik Indonesia, Djogjakarta, 1958, h.54 – 55.

2. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

3. Bambang Murtiyoso, Studi Lakon Wayang, Surakarta 1996: 1

4. Poedjosoebrata, Wayang Lambang Ajaran Islam, Pradnya Paramita Jakarta, 1978: 22.

5. Sri Hastanto, “Mengukir Kehidupan Wayang Kulit Purwa di Masa Depan”, 1996:1.

Problematika Kreativitas Dalam Pewayangan (2)

|

Oleh: Purwadi

Setiap muncul kreativitas dalam pewayangan, selalu muncul problematika antara yang pro dan kontra. Hal ini menimbulkan pembicaraan yang berkepanjangan antara kualitas versus laris; antara ekspresi estetik versus dagelan antara lungiting kabatinan versus propaganda politik secara vulgar, dan lain sebagainya (Sri Hastanto, 1996: 1). Misalnya seperti yang dilakukan oleh Almarhum Ki Nartasabda. Kreativitas yang dilakukan oleh Ki Nartasabda antara lain:

· Mengadakan pembaharuan garap gendhing-gendhing klasik dan menyelipkan lagu-lagu pop ciptaan baru dalam adegan tertentu.

· Mencampur beberapa teknis gaya dan/atau sub gaya pekeliran daerah, Yogyakarta, Surakarta, Banyumasan, dan Jawatimuran.

· Merubah kebiasaan penempatan gamelan, untuk memudahkan dialog dengan para pesinden.

· Menyelipkan janturan/pocapan serta dialog-dialog segar dan humoristik dalam suasana adegan yang serius atau menegangkan.

Kreativitas yang dilakukan oleh Ki Nartasabda tersebut sering mendapatkan kritikan yang tajam dari pengamat wayang, empu-empu dalang, dan pendukung-pendukung seni tradisi. Tetapi seakan-akan tidak dipedulikan oleh Ki Nartasabda. Ki Nartasabda sekarang, di kalangan masyarakat pedalangan, menjadi terkenal sebagai maestro atau dalang pembaharu. Ketenaran dan keberhasilan Nartasabda lewat pakeliran garap jenaka ini mendapat simpati masyarakat luas dan diikuti dalang yang lebih muda. Mulai saat itu bentuk pertunjukan wayang semalam telah bergeser menjadi bentuk hiburan sehingga menimbulkan problematika.

Kreativitas dalam pewayangan kembali muncul yang diprakarsai oleh STSI Surakarta dengan diciptakannya pakeliran padat. Dengan pakeliran padat diharapkan dapat menggarap dan mengungkapkan masalah-masalah kehidupan rohani yang mendalam, yang wigati, yang wos. Maka hal-hal yang dianggap tidak relevan wajib ditepis serendah-rendahnya. Konsep dasar ini harus didukung oleh kemampuan seniman dalam hal penguasaan teknis pakeliran secara tuntas serta pemahaman budaya wayang yang cukup. Orientasi pakeliran padat lebih ditekankan pada pandangan bahwa pakeliran adalah produk estetika, maka segala hal yang dianggap tidak artistik lebih pas apabila ditinggalkan. Para dalang yang berorientasi pada selera komersial, kecuali Ki Mantep Soedarsono, telah menentang kehadiran pakeliran padat, sebab dianggap merusak pakem karena bertentangan dengan tradisi pakeliran mereka.

Mengacu konsep pakeliran padat, STSI mengadakan satu bentuk eksperimen dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai media ekspresinya. Percobaan-percobaan peng-Indonesian wayang sebelumnya dianggap masih terlalu verbal, terbatas pada bentuk alih bahasa. Konsep pakeliran tradisi dianggap tidak tepat lagi untuk dapat mewadahinya. Oleh karena itu, mereka mencoba mengembangkan pakeliran dengan cara: memperlebar dan memperpanjang ukuran layar, menggarap unsur gerak wayang (sabet) dan bayangan, mengolah iringan (karawitan), memanfaatkan teknik film dan teater, menggunakan sistem dubbing dalam percakapan serta narasi, dan sebagainya. Cara pengembangan kedua yang dilakukan oleh STSI Surakarta ini tidak dapat berkembang dengan mulus, disebabkan oleh keterbatasan biaya dan sumber daya manusia yang dimiliki.

Problematika Kreativitas Dalam Pewayangan (1)

|

Oleh: Purwadi

Setiap kali diadakan diskusi yang membahas tentang pentas wayang kulit, di situ juga terjadi silang pendapat antara pro perubahan dan pro pakem. Bagi yang pro perubahan pakeliran, dalihnya mungkin karena ekonomi, selera pasar, tuntutan penonton, perkembangan jaman, dan kebebasan kreativitas. Bagi yang pro pakem mungkin alasannya karena menjaga nilai adiluhungnya seni, wibawa pakeliran, dan memelihara jatidiri.

Sena Sastraamidjojo dalam bukunya Nonton Wajang Kulit Jawa mengatakan bahwa pakem adalah sebuah kitab (catatan atau daftar) yang di dalamnya terdapat peraturan mengenai bentuk dan jalannya cerita wayang, boneka-boneka wayang yang harus dipakai, iringan gamelan yang menghantarkan, dan lain-lain. Peraturan ini ditetapkan oleh para ahli yang harus berlaku sebagai pedoman, dan tidak boleh diubah sewenang-wenang (1958: 54 – 55).

Pakem semula hanya berlaku di kalangan para dalang keraton, diterapkan pula pada berbagai pengajaran (kursus) pedalangan; seperti di Kasunanan Surakarta mendirikan Padhasuka (Pasinaon Dhalang Surakarta), Kasultanan Yogyakarta mendirikan Habirandha (Hambiwaraken Rancangan Andhalang), dan Mangkunegara VII mendirikan PDMN (Pasinaon Dhalang Mangkunegaran). Sebagian besar para murid yang terdaftar adalah dalang-dalang muda dari berbagai wilayah keraton masing-masing, termasuk para anak dalang di pedesaan (Bambang Murtiyoso, 1996: 1).

Pakem keraton sering dipandang sebagai tolok ukur kualitas pakeliran di kalangan para dalang senior. Akibatnya, pakeliran seakan-akan telah berhenti, peluang kreativitas para dalang dihantui oleh ketakutan terhadap anggapan merusak pakeliran yang adiluhung. Padahal kalau kita mau menengok ke belakang sejenak, akan kita dapatkan bahwa seni pewayangan merupakan ajang kreativitas para seniman pendukungnya sejak adanya wayang yaitu zaman kerajaan Kediri. Pakem itu sendiri merupakan hasil dari kreativitas para empu-empu dalang.

Menurut Poedjasoebrata (1978) dalam bukunya yang berjudul Wayang Lambang Ajaran Islam, mengatakan bahwa sebelum jaman Demak wayang berujud arca-arca kecil yang menyerupai manusia. Hal ini bertentangan dengan paham agama Islam, dan diharamkan. Oleh karena itu, para seniman pada jaman tersebut kreatif mengubah hal-hal yang haram dalam wayang menjadi sesuatu yang diperbolehkan, tetapi tidak mengurangi esensinya. Boneka wayangnya dibuat berbentuk yang jauh dari bentuk manusia, tetapi orang dapat melihat bahwa bentuk yang baru itu menggambarkan manusia. Perubahan ini juga menimbulkan problematika pro dan kontra

Pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, selama ini dikenal sebagai format yang paling akrab, diminati, dan dinikmati oleh masyarakat. Ini bisa dipahami karena proses kreativitas yang panjang semenjak kelahirannya sebagai sebuah seni pertunjukan. Dari semula yang pertunjukannya hanya diiringi sebuah saron dengan pola tabuhan “tak beraturan”, kini menjadi kompleks dengan menggunakan seperangkat gamelan baik slendro maupun pelog. Komposisi-komposisi baru bermunculan, bahkan ditambah dengan seperangkat musik diatonis lengkap dengan penyanyi dan pelawaknya. Hal ini menandakan bahwa pewayangan merupakan ajang kreativitas yang sangat luas.

Merangsang Kreativitas Anak (2)

|

Oleh: Heru Subagiyo

Kreativitas sebenarnya tidak sepenuhnya menciptakan hal yang baru tetapi melihat hubungan yang baru dari sesuatu yang ada. Menurut Prof. Dr. Utami Munandar ada beberapa cara untuk merangsang dan meningkatkan kreativitas anak yaitu:

1. Merangsang daya imajinasi. Dalam Seni dan ilmu pengetahuan seorang anak dituntut untuk berimajinasi, menggambarkan atau membayangkan sesuatu apa yang kita bimbingkan. Agar anak dapat membayangkan, mereka harus diberi kesempatan untuk mengembangkan daya imajinasinya dengan jalan lebih sering menghargai tanggapan-tanggapan hasil imajinasi anak tersebut.

2. Mendorong ungkapan pribadi. Anak perlu dirangsang untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pribadinya, dan mendorong untuk dapat menyampaikan pikiran-pikiran dan ide-idenya kepada orang lain. Keadaan ini sangat berlainan dengan apa yang terjadi di sekolah, dimana anak masih lebih sering sebagai pendengar yang pasif daripada sebagai peserta yang aktif. Anak tidak bisa mengungkapkan diri pribadinya karena tidak diberi kesempatan dan metode yang digunakan guru dalam mengajar adalah dialog satu arah yaitu dari guru sendiri.

3. Mengusahakan suasana seperti bermain dalam belajar. Suasana informal yang santai dalam kelas, dengan pemberian tugas kegiatan yang menyerupai game sangat disenangi oleh anak. Mereka harus menyadari bahwa kegiatan itu mempunyai tujuan yang serius yaitu mengembangkan kemampuan kreatif mereka, untuk pengenalan dan pemahaman diri.

4. Mendorong berpikir kreatif. Hendaknya kegiatan dalam kelas itu juga merangsang berpikir kreatif, di samping penalaran yang logis. Berpikir kreatif ialah berpikir untuk menemukan banyak kemungkinan jawaban atau ide terhadap sesuatu masalah dan menuntut kelancaran, keluwesan dan orisinalitas dalam berpikir.

Akhirnya, dengan merangsang kreativitas anak maka kita berharap muncul para kreator-kreator baru dan kita akan yakin pengangguran di negara ini akan berkurang. Kreativitas juga biasanya erat hubungannya dengan kesehatan mental. Orang yang sehat mentalnya dapat berfungsi sepenuhnya sebagai manusia seutuhnya yang bermakna. Kunci utama dalam merangsang kreativitas anak adalah memperlakukan anak dengan pikiran anak-anak bukan sebaliknya yaitu memperlakukkan anak dengan pikiran orang tua. ( )

Sumber Bacaan;

1. Buku Kreativitas karya Julius Chandra yang diterbitkan Kanisius tahun 1994

Merangsang Kreativitas Anak (1)

|

Oleh: Heru Subagiyo

Kreativitas merupakan kata yang dihubungkan dengan kepandaian seseorang. Pendapat ini tidak salah tetapi tidak juga sepenuhnya benar. Banyak orang mengartikan kreativitas adalah sikap hidup dan prilaku, juga ada yang menghubungkan kreativitas dengan gagasan-gagasan baru dalam ilmu, teknologi dan pemecahan masalah berbagai bidang. Sebagian orang menekankan kreativitas pada sifat artistik yaitu bahwa yang kreatif itu harus nyeni. Orang tua akan senang dan bangga kalau anaknya memiliki kreativitas yang tinggi.

Sebelum kita berbicara tentang membangun kreativitas anak ada baiknya kita mengetahui apa sebenarnya kreativitas itu. Kreativitas menurut Dr. Myron S. Allen adalah perumusan-perumusan dari makna melalui sintesis. John W. Haefele mengatakan kreativitas dirumuskan sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang bernilai sosial. George J. Seidel mengemukakan kreativitas adalah kemampuan untuk menghubungkan dan mengaitkan, kadang-kadang dengan cara yang ganjil namun mengesankan, dan ini merupakan dasar pendayagunaan kreatif dari daya rohani manusia dalam bidang atau lapangan manapun. Jacques Hadamard mengatakan bahwa penemuan atau kreasi baik dalam matematika maupun dalam bidang yang lain terjadi dengan menggabungkan ide-ide. Dan Julius Chandra menjelaskan kreativitas sebagai kemampuan mental dan berbagai jenis keterampilan khas manusia yang dapat melahirkan pengungkapan yang unik, berbeda, orisinal, sama sekali baru, indah, efisien, tepat sasaran dan tepat guna.

Merangsang kreativitas pada anak merupakan pekerjaan yang susah-susah gampang. Susah, karena kebanyakan orang tua dan lingkungan tidak membebaskan anak untuk mengungkapkan diri dan mewujudkan pikiran-pikiran dan ide-idenya yang merupakan kebutuhan pokok yang khas sebagai manusia. Sebagian orang tua masih menganggap bahwa pikiran-pikirannya adalah yang terbaik bagi anaknya. Sedangkan anak merasa bahwa dia lebih tahu dengan apa yang dipikirkan dan diperbuat. Belenggu dan batas-batas pikiran orang tua inilah yang sebenarnya tidak merangsang kreatifitas anak. Gampang, karena kreativitas akan tumbuh dan berkembang pada diri anak ketika belenggu-belenggu dan batas-batas pikiran orang tua diperlonggar. Ketika batas-batas pikiran orang tua diperlonggar maka anak akan lebih bebas untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya, dan ini merupakan media rangsangan kreativitas pada anak.

Usaha merangsang kreativitas anak berarti mengusahakan lingkungan dan suasana yang memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan kreativitas mereka secara optimal. Kegiatan kreatif merupakan kegiatan bermakna yang manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh anak yang bersangkutan tetapi juga oleh masyarakat dan kebudayaan. Melakukan kegiatan kreatif kecuali bermakna dan bermanfaat juga merupakan kegiatan yang mengasyikkan dan memberi kepuasan batin secara khusus pada anak kalau dapat menyaksikan dan merasakan hasil kreasinya. Jadi berkreasi sebenarnya juga melakukan kegiatan rekreasi karena pikiran dan batin anak akan merasa bahagia kalau hasil kreasinya ada yang menerima dan menghargai.

Kreativitas: Keberagaman Dalam Pemaknaan (2)

|
Oleh: Rien Surtantini

Semangat Keberagaman
Dari proses yang terjadi dan kita alami, mungkin memang akhirnya kita tidak pernah sampai pada kebenaran atau standar tunggal dalam memberi makna terhadap “kreativitas”, yang ada adalah keberagaman...... Masalahnya kemudian, apakah kita mau saling menghargai keberagaman untuk memaknai keluasan arti kata “kreativitas”, ataukah kita tetap harus bertahan dengan sebuah standar yang tidak boleh goyah? Menurut saya, biarlah pencarian terhadap standar itu bergerak, bisa ditambah atau dikurangi, sehingga menghasilkan keragaman wacana. Biarkanlah wacana ini kemudian memperoleh komunitasnya, kalau setuju dengan sebuah wacana silakan masuk dan bergabung; kalau tidak, biarkan menciptakan wacana baru. Muncullah kemudian juga beragam komunitas wacana. Inilah embrio semangat dan dinamika keberagaman yang diharapkan dapat saling melengkapi! Dengan demikian, toleransi dan sikap saling menghargai terhadap keberagaman dibangun dan mendapatkan tempatnya.......
Satu hal yang juga muncul dari proses signifikasi yang saya lakukan terhadap diskusi Jumat pagi saat itu adalah bagaimana agar keterlibatan siapa pun kita di dalam proses kreatif dapat membantu dan memberi inspirasi bagi orang lain untuk melakukan “perubahan” yang “konstruktif” sesuai dengan pekerjaan dan bidang kita masing-masing. Bukankah kita “sadar” dan sudah dengan “senang hati” memutuskan dan memilih sebuah disiplin ilmu untuk kemudian bekerja secara profesional di dalam bidang ini sebagai pengembang dan pemberdaya bagi sekian banyak orang lain di negeri ini (?)


Manifestasi dan apresiasi terhadap kreativitas
Dengan berbagai argumentasi yang saya peroleh dari kata “kreativitas” pada forum Jumat pagi tersebut, saya memperoleh keberagaman dalam melihat wujud dan apresiasi terhadap kreativitas seseorang dalam pekerjaannya sesuai dengan bidangnya. Ada beberapa “kata kunci” yang saya tangkap dari gagasan teman-teman mengenai kreativitas. Saya coba jalin beberapa kata kunci tersebut dalam pertanyaan-pertanyaan yang membantu kita untuk mengapresiasi manifestasi kreativitas seseorang:
(1) Bagaimana kecepatan seseorang secara natural dalam memproduksi respon yang terjadi di sekelilingnya?
(2) Bagaimana elaborasi yang dilakukan seseorang untuk dapat menambahkan gagasan yang kaya terhadap sebuah isu dan kemudian menerapkannya?
(3) Bagaimana visualisasi yang diciptakan seseorang untuk memanipulasi citraan (imaji) dari berbagai dimensi yang berbeda?
(4) Bagaimana fleksibilitas yang dimiliki seseorang dalam menghasilkan gagasan atau memandang sesuatu dari berbagai dimensi yang bervariasi?
(5) Bagaimana originalitas yang diperlihatkan seseorang dalam menghasilkan sesuatu yang tidak biasa, unik, baru?
(6) Bagaimana transformasi yang dibangun seseorang untuk mengubah sesuatu yang ada menjadi sesuatu yang memiliki nilai-nilai baru dan berbeda?
(7) Bagaimana intuisi yang diwujudkan seseorang untuk melihat dan membuat berbagai hubungan dari hal-hal yang ada?
(8) Bagaimana sintesa yang dirancang seseorang untuk menggabungkan bagian-bagian yang terpisah menjadi satu kesatuan yang utuh?
Ajakan saya kemudian, mari periksa diri kita dan berikan apresiasi kepada teman-teman kita yang melakukan satu, beberapa atau bahkan semua karakteristik di atas, terutama dalam kondisi mereka dengan tuntutan “multi-peran”: pendidik, seniman, peneliti, entrepreneur....


Penutup
Tulisan ini hanyalah hasil signifikasi yang saya lakukan terhadap forum Jumat pagi ketika teman-teman berbicara mengenai “kreativitas” dan terhadap rumusan “multi-peran” teman-teman tenaga fungsional yang berlatar belakang seni. Keduanya saya perlakukan sebagai “teks”, yang dapat saya baca. “Teks” di dalam pengertian cultural studies (Barker, 2009: 12; 417-19) adalah segala sesuatu yang membentuk makna, atau semua kegiatan yang mengacu kepada makna (to signify) melalui praktek signifikasi (kegiatan memproduksi makna melalui berbagai citra, bunyi, objek dan aktivitas). Sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Barker tentang “teks kultural”, maka bagi saya forum Jumat pagi dan rumusan “multi-peran” seorang tenaga fungsional dapat merupakan sistem tanda yang mengacu suatu makna dengan mekanisme yang sama dengan bahasa, dapat kita baca dan beri makna, sehingga kita dapat menyebut semua itu sebagai “teks kultural”.



Referensi:
Barker, Chris. 2009. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Kreativitas: Keberagaman Dalam Pemaknaan (1)

|
Oleh: Rien Surtantini

Pengantar
Kata “kreativitas” memiliki makna dan pemahaman yang bervariasi di dalam ilmu-ilmu yang mempelajarinya, karena tidak mudah membedakan makna kata ini dengan istilah “kecerdasan”, “wawasan”, “intuisi”, “kebijakan”, “keterampilan memecahkan masalah” atau “menemukan sesuatu yang baru”, yang kesemuanya bercampur, mewarnai dan menggambarkan perilaku kreatif. Pemahaman kita tentang kreativitas berkembang juga dengan perbincangan mengenai adanya cara berpikir yang “konvergen” (yang memandu kita untuk sampai pada sebuah jawaban yang benar dan konvensional), serta cara berpikir “divergen” (yang menghasilkan berbagai jawaban dan solusi yang baru).


Kreativitas: Sebuah Refleksi
Diskusi teman-teman yang mengikuti forum Jumat pagi beberapa waktu yang lalu pada awal Januari 2010 tentang kreativitas di bidang seni menunjukkan bagaimana “kreativitas” dimaknai oleh teman-teman dari berbagai perspektif dan pengalaman masing-masing. Saya mencoba melihat diskusi saat itu sebagai sebuah “teks” yang hadir di dalam pikiran saya, saya baca, dan kemudian secara bebas teks tersebut mengalami proses signifikasi dalam alam pikiran saya.
Melalui “teks” (baca: diskusi) yang saya maknai ini, saya melihat bagaimana kreativitas di bidang seni yang didiskusikan oleh teman-teman memiliki interpretasi dari berbagai sudut pandang yang (1) prosedural (di dalamnya terkandung tahap-tahap yang dapat diukur karena melalui bukti-bukti empiris), (2) bebas dengan kriteria sangat personal karena ini adalah sebuah proses internal yang dialami secara berbeda oleh setiap individu, (3) membaur karena memadukan perspektif pendidik dan seniman, (4) berdasarkan pengalaman diri sendiri yang aktual atau penilaian terhadap proses kreatif orang lain yang diamati.
Ketika diskusi ini berakhir, saya jadi berpikir apakah kita harus selalu mencari sebuah rumusan yang pasti, atau menemukan satu-satunya rumusan dan norma yang “benar” tentang kreativitas di bidang seni? Apakah usaha ini menjadi sesuatu yang mungkin tidak akan pernah berakhir? Inikah keinginan atau pemikiran yang berkreasi tanpa batas, yang harus dicari terus menerus, sehingga muncullah dinamika wacana yang beragam di mana setiap orang punya pendapat, argumentasi, kepentingan?
Saya juga kemudian bertanya-tanya lagi, apakah ini salah satu representasi manusia di jaman post-modernisme? Dan apakah kita di dalam institusi ini, sadar atau tidak sadar, menjadi pelakunya? Tetapi, apabila kita menjadi pelakunya, apakah kita melakukan kegiatan “dekonstruksi” terhadap makna dan kegiatan “kreativitas”, karena tuntutan terhadap rumusan peran (terutama teman-teman yang berlatar belakang seni) di dalam institusi kita ini adalah “multi-peran”: sebagai pendidik yang selalu harus belajar, sebagai seniman yang harus berkreasi, sebagai peneliti yang harus melakukan kegiatan akademik, sebagai entrepreneur, dst.....; sementara itu, mereka pun beperan sebagai pegawai negeri yang berdedikasi, punya integritas, bermental teladan, dan sekian peran lainnya yang luar biasa yang membuat kita kemudian ragu untuk melakukan kegiatan “dekonstruksi” karenanya........
Ada garis melingkar yang membatasi proses kreatif ini. Garis ini bervariasi bentuknya, tebal, tipis, lurus, bergelombang, tergantung pembuatnya. Garis-garis ini menciptakan standar-standarnya. Sebagai standar, garis-garis ini tidak boleh dilalui, yang mencerminkan semangat normatif; tetapi sebagai variasi, garis-garis ini mencerminkan keberagaman bentuk tadi, yang mencerminkan semangat pluralistis. Jadi, pembuat garis ini berada di dua dunia: standar dan relatif. Dalam kondisi seperti ini, adakah proses dekonstruksi? Bagaimana kreativitas dapat dilakukan?