Kebudayaan: Sebuah Kata Tanpa Batas

|

Oleh: Rin Surtantini

Oleh: Rin Surtantini

Ketika beberapa teman di PPPPTK-SB berbincang-bincang di Studio Teater dalam forum diskusi- pada suatu pagi di hari Jumat di awal bulan Oktober 2009 - dalam suasana santai tapi juga serius - topik yang diangkat hari itu adalah ‘kebudayaan’ - saya jadi berpikir bahwa inilah sebuah forum yang mungkin dapat ‘membelajarkan’ kita (yang tertarik untuk hadir di sana) tentang berbagai hal tanpa adanya keterikatan, ketergantungan atau kepentingan kelompok tertentu. Dengan demikian, saya mencoba untuk melakukan apa yang menjadi kesepakatan pada akhir diskusi waktu itu, yaitu masing-masing dari yang hadir menuliskan sesuatu tentang ‘kebudayaan’ dari dimensi disiplin ilmunya masing-masing.

Judul tulisan ini mengandung makna bagaimana diskusi tentang kebudayaan merupakan sebuah topik yang tidak pernah berujung dalam suatu keputusan yang mutlak karena kebudayaan itu hidup dan berkembang sejalan dengan adanya kehidupan manusia di bumi ini. Tulisan ini merefleksikan gagasan saya sebagai orang yang memiliki latar belakang bidang sastra dan bahasa –ditambah bidang pedagogi (yang diperoleh dari hasil pendidikan maupun pengalaman). Tulisan ini rasanya juga pas dengan peristiwa mengenang kembali lahirnya Sumpah Pemuda delapan puluh satu tahun yang lalu, karena di dalamnya tercetus kata ‘bahasa’ yang sungguh bermakna dalam perbincangan mengenai kebudayaan Indonesia.

Saya tertarik untuk mengajak teman-teman melihat bahwa ‘bahasa’ merupakan sebuah ‘unsur kebudayaan’, di samping beberapa unsur kebudayaan lain seperti misalnya ‘kesenian’ (yang sering kita bicarakan dan selalu menjadi topik hangat di kampus kita ini), atau religi, organisasi sosial, mata pencaharian, dan sebagainya Suatu unsur kebudayaan terdiri dari beberapa sub-unsur, sehingga kita kenal betul karena di kampus kita ada seni lukis, seni patung, seni musik, seni tari, seni teater, dan lain-lain sebagai sub-unsur dari kesenian.

Karena kita sangat terbiasa bergelut dengan ‘istilah’ dan kegiatan pendidikan dan pelatihan di bidang ‘seni dan budaya’ di kampus ini, mungkin ada kecenderungan bahwa wilayah-wilayah kebudayaan berkisar pada sub-unsur seni yang kita geluti dan disebutkan di atas tadi. Tentu hal ini bukanlah merupakan suatu kesalahan, karena memang berbagai sub-unsur seni yang kita kaji dan tekuni tadi merupakan sub-unsur yang membentuk kebudayaan.

Bagaimana dengan bahasa? Dalam konteks kebudayaan yang saya tuliskan dalam judul tulisan ini sebagai luas ‘tanpa batas’, bahasa juga merupakan ‘saudara’ dari ‘kesenian’ –sama-sama memiliki orangtua yang bernama ‘kebudayaan’. Untuk itulah, saya merasa bahwa bahasa memiliki ‘tempatnya’ ketika kita berdiskusi mengenai kebudayaan. Saya juga berpikir, sudah saatnya wilayah kebudayaan kita garap dengan cakrawala yang luas, karena nomenklatur dari kampus kita ini jelas menunjukkan hal tersebut (PPPPTK Seni dan Budaya). Dalam cakrawala perbincangan yang lebih luas, kita harus mulai mencoba untuk meluaskan dimensi dan sudut pandang kita, sehingga perbincangan mengenai kebudayaan berkembang menjadi dinamis, multi-perspektif dan membantu kita untuk memecahkan berbagai persoalan yang timbul di kampus ini dari keberagaman perspektif.

Saya akan mengambil beberapa contoh yang konkrit dan sederhana dari dimensi ‘bahasa’ sebagai unsur kebudayaan. Tentunya hal ini tidak terlepas dari keterbatasan dan pemahaman saya yang tidak pernah berujung, senantiasa berkembang. Saya masih ingat betul ketika di kampus ini beberapa bulan yang lalu diadakan sebuah workshop yang membahas struktur organisasi. Ketika tiba saatnya memberikan ‘nama’ bagi unit-unit kerja yang terbentuk di dalam institusi ini berdasarkan argumentasi yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh yang hadir saat itu, nama ‘Unit Bahasa dan Sastra’ juga menjadi salah satu topik perbincangan. Nama ini direncanakan akan diganti dengan ‘Unit Adaptif dan Normatif’, kembali seperti beberapa tahun yang silam, karena disiplin ilmu yang ada di dalamnya adalah gabungan dari ilmu-ilmu bahasa, sastra, matematika serta kewirausahaan, ataupun ilmu-ilmu yang dirasa tidak punya orang tua, atau disiplin yang dianggap umum atau sukar untuk dikategorikan sebagai bagian dari ‘seni dan budaya’.

Malam harinya setelah keputusan itu yang sepertinya diambil oleh yang berwenang, saya sedikit sukar untuk tidur karena ada sesuatu yang mengganggu pikiran terkait dengan istilah penggantian nama tadi. Mengapa? Seharusnya mungkin saya tidak perlu demikian, apalah artinya kegusaran ini dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawab institusi yang demikian besar terhadap urusan pendidikan seni dan budaya di Indonesia ini. Tetapi, saya tetap sukar untuk tidak memikirkan hal ini karena saya terganggu oleh perasaan, “cukupkah kita dengan sebuah keputusan tanpa melalui konsep yang mendalam dan kritis?”

Terlepas dari ilmu bisnis, sosial, matematika, atau ilmu campur-campur yang menurut keputusan saat itu (meskipun sampai saat ini belum ada tanda-tanda untuk diberlakukan) menjadi bagian dari Unit Adaptif dan Normatif, saya akan menyoroti peristilahan ini hanya dari sudut pandang ilmu ‘bahasa’ saja, karena hanya inilah yang sedikit saya ketahui.

Bahasa dan sastra merupakan salah satu produk atau benda kebudayaan, bahasa dan sastra juga mencerminkan kebudayaan sebagai perilaku. Lihatlah orang yang membaca misalnya, ceritera pendek, naskah film atau drama, puisi, novel, artikel pendidikan, dan lain-lain yang menggam-barkan misalnya refleksi kehidupan sosial, sikap penulis terhadap fenomena masyarakat, pandangan penulis terhadap kejadian alam, dan sebagainya. Di dalam berbagai produk yang dihasilkan oleh bahasa itu, kita tidak dapat menyangkal bahwa itulah wujud dari gagasan (konsep) dan proses pembentukan kebudayaan.

Dengan demikian, menghilangkan istilah ‘bahasa dan sastra’ sama saja dengan menghapuskan ‘sebuah unsur’ dari kebu-dayaan, padahal ternyata kata ‘budaya’ merupakan nama dari institusi kita - PPPPTK Seni dan ‘Budaya’. Sebagai pembanding, ilmu-ilmu bahasa dan sastra di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta adalah ilmu-ilmu humaniora yang masuk di dalam Fakultas Ilmu Budaya, di samping ilmu antropologi, sejarah, dan arkeologi. Jadi, apa yang salah kemudian dengan kata ‘bahasa dan sastra’?

Telaah lain yang dapat disampaikan di sini dari segi psikolinguistik (bagaimana manusia memproses secara mental pemerolehan dan penggunaan bahasa dan mengapa hanya manusialah yang dapat berbahasa) menunjukkan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang universal, menjadi milik manusia, karena hanya manusialah yang menghasilkan dan memiliki kebudayaan. Secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari, kita bekerja menggunakan bahasa, karena dalam bekerja kita pasti melakukan komunikasi dan menciptakan wacana (teks yang bermakna), baik secara lisan maupun tulis. Dengan sudut pandang ini, kita tidak dapat berpikir sempit bahwa istilah ‘bahasa dan sastra’ di PPPPTK Seni dan Budaya hanya dikaitkan dengan kegiatan ‘diklat-diklat bahasa’ yang kita selenggarakan saja, yang juga berimplikasi bahwa pemakaian istilah ini hanya milik dan lingkup PPPPTK Bahasa saja (karena PPPPTK Bahasa menangani diklat-diklat bahasa). Kita di PPPPTK Seni dan Budaya seyogyanya memaknai istilah ‘bahasa’ dari segi pemahaman kita terhadap ‘kebudayaan’ tadi, bukan hanya sebatas penyelenggaraan diklat bahasa. Bahasa adalah milik manusia, di manapun dan kapanpun, dalam disiplin ilmu apapun.

Makna luas di atas apabila hanya dihubungkan dengan kegiatan diklat menjadi sangat sempit karena mungkin kita memaknai diklat bahasa hanya dari segi supaya orang yang mengikuti diklat memiliki kompetensi berbahasa saja, bukan berbudaya. Dengan pandangan terbatas seperti ini, kita cenderung menilai bahwa orang belajar bahasa supaya bisa bertata bahasa dengan baik, menyusun struktur kalimat dengan benar, mengucapkan dan mengeja dengan tepat, atau memiliki kosakata yang banyak. Kemudian ketika misalnya bahasa Inggris diajarkan di sekolah-sekolah seni, ada pesanan bahwa siswa harus belajar teks-teks tentang seni, istilah-istilah seni, wawasan seni, dan hal-hal yang berbau seni. Dengan demikian, mereka akan dapat berbahasa Inggris - dari sudut pandang orang seni!. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah belajar teks bahasa Inggris yang berbau seni dapat membuat mereka memahami budaya dalam arti yang luas? Akan tetapi, pesanan ini tidak salah, karena pandangan dan gagasan seperti itulah yang kita bangun selama ini.

Ketika belajar bahasa kita anggap sebagai bukan bagian dari belajar tentang kebudayaan, maka segala usaha untuk mengurangi, mengesampingkan, atau meniadakan pembe-lajaran bahasa akhirnya menjadi sah-sah saja. Tetapi coba kita renungkan dan refleksikan hal-hal berikut ini dengan cakrawala yang lebih luas dan secara open-minded:

· Ketika institusi kita ini memutuskan untuk menjadi lembaga internasional, global, dan menjalin hubungan dengan negara-negara lain melalui perintisan pendirian unit-unit yang bersifat internasional, atau melalui kerjasama diklat dengan institusi dari luar negeri, dapatkah kita mengingkari bahwa komunikasi (lisan dan tulis) harus dilakukan di dalam bahasa asing? Di sinilah peran bahasa sebagai unsur dari ‘kebudayaan’ muncul, karena kita, siapa saja yang terlibat dengan kegiatan ini di lembaga ini, dituntut tidak hanya mampu untuk berbahasa asing dengan tata bahasa, struktur kalimat, kosakata, pengucapan yang akurat dan lancar, tetapi juga untuk mau mempelajari multiculturalism, pluralism, ataupun cross-cultural understanding.

Dalam konteks ini, bahasa asing kemudian berfungsi sebagai ‘lingua franca’ yang menghubungkan dan menyatukan kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kegiatan berbahasa bukan hanya sekedar mampu bertata bahasa atau mengucapkan kata-kata dengan baik dan benar, tetapi juga mampu untuk melakukan pergaulan internasional dengan menerapkan tata krama pergaulan internasional dengan bangsa lain serta memahami adanya keragaman budaya melalui bahasa yang digunakan. Tanpa pemahaman lintas budaya dan keragaman budaya ini, komunikasi tidak berjalan dan hasil dari hubungan internasional ini tidak seperti yang diharapkan.

Dalam konteks ini pula, peran ‘pragmatik’ menjadi penting sebagai salah satu cabang ilmu bahasa (ilmu yang mempelajari perspektif kognitif, sosial dan budaya terhadap fenomena-fenomena kebahasaan dalam hubungannya dengan penggunaannya yang tercermin dalam perilaku manusia). Ilmu ini membantu kita untuk mempelajari kebudayaan sebagai perilaku ditinjau dari segi bahasa.

· Dengan kondisi Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki pluralisme yang tinggi dari aspek budaya, etnik, bahasa, agama, sosial ekonomi, maka komunikasi antaranggota masyarakat dari berbagai wilayah di seluruh Indonesia telah berhasil disatukan oleh fungsi bahasa Indonesia selaku lingua franca (ingat Sumpah Pemuda). Bahkan dikatakan bahwa di sebagian wilayah Asia Tenggara, bahasa Indonesia dapat menghubungkan beberapa negara dalam bidang komunikasi antarbangsa karena secara geografis dengan dukungan kekerabatan etnik, bahasa Indonesia berpeluang menjadi lingua franca di kawasan Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei. Hal ini dapat dipahami karena keberadaan rumpun bahasa Melayu dan penuturnya diakui di negara-negara ini.

· Ketika diperlukan ragam bahasa yang benar dan sesuai di dalam bidang-bidang pekerjaan yang kita geluti di dalam institusi ini, muncullah kebutuhan akan misalnya penggunaan bahasa formal, bahasa non-formal, bahasa dan istilah hukum, bahasa surat menyurat resmi, bahasa untuk karya tulis ilmiah, bahasa untuk penulisan modul atau bahan ajar, bahasa untuk komunikasi internasional, bahasa di dalam konteks, dan lain sebagainya. Di sini bahasa membentuk aturan, convention, ataupun kebiasaan yang diakui sebagai patokan dalam mewujudkan gagasan atau konsep-konsep. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa berfungsi menuntun manusia di dalam membuat gagasan, berperilaku, berproses dan menghasilkan sesuatu.

Itulah sebagian kecil deskripsi yang menempatkan bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan. Masih begitu banyak cerita tentang hal ini yang membukakan mata hati dan pikiran kita sebagai manusia yang memiliki kemampuan untuk mencipta, merasakan dan memiliki harapan. Memprihatinkan kalau masih ada yang mengatakan bahwa diskusi dan perbincangan mengenai ‘kebudayaan’ di dalam institusi ini hanya melibatkan teman-teman yang memiliki latar belakang seni saja. Memilukan kalau kita menistakan bahasa hanya sebagai sebuah wilayah yang terpisah dari kebudayaan. Ia (‘bahasa’) bersaudara dengan ‘seni’ dengan orangtua yang bernama ‘kebudayaan’. Mari kita bangun pengertian dan pemaknaan terhadap kebudayaan dari perspektif ‘sebuah kata tanpa batas’. Mari kita perbincangkan pemaknaan terhadap ‘kebudayaan’ secara open-minded. Ia akan menawarkan sebuah cakrawala yang luas, yang memungkinkan kita berkembang secara humanis. (*)

Yogyakarta, 24 Oktober 2009

________________________

Orang yang membosankan ialah mereka yan kalau ditanya bagaimana keadaannya akan bercerita panjang lebar perihal dirinya (Bert Leston Taylor)

Kekerasan adalah senjata orang yang jiwanya lemah (Gandhi)

0 komentar:

Posting Komentar