MENCARI JATIDIRI BANGSA

|
Oleh: Toto Sugiarto

Dalam perjalanan sejarah, ”Indonesia” paling tidak telah mengalami tiga babak trasformasi budaya, babak pertama ketika kebudayaan India melalui agama Hindu-Budha Mempengaruhi kebudayaan prasejarah “Indonesia”, kebudayaan Jawa pada kususnya. Kedua tatkala Islam menyentuh sendi-sendi kebudayaan Jawa–Hindu, yang menunjukan terjadinya proses sintetis yang sangat mendalam sehingga terjadi kristalisasi membentuk kebudayaan baru. Babak ketiga, manakala pada masa penjajahan bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) yang menurut Clifford Greetz telah terjadi ‘gegar budaya’ terhadap Jawa- Islam oleh hadirnya kebudayaan Eropa yang amat agresif. Pada masa ini terciptanya kondisi’ terbelalak’ akibat tidak mampunya budaya Jawa-Islam melakukan dialog budaya dengan kebudayaan Eropa yang rasional, ekspansif, dan rakus (Sachari, 2000).

Sintesis kebudayaan Jawa-Islam belum sempat mencari posisi yang mantap, sudah datang kebudayaan baru, yaitu kebudayaan Eropa yang menurut Kayam bahwa pada awal penjajahan Belanda Indonesia tidak mampu melaksanakan dialog budaya secara efektif dan kreatif dengan idiom budaya imperialis yang agresif, rasional, dan ‘dingin’. Jadi sintesis budaya yang terjadi lebih bersifat sepihak dan takluk pada kekuatan budaya Eropa. Hal ini tebukti dari bagaimana berkuasanya sebuah kongsi dagang buatan Belanda yang bernama Verreenigde Oost Indische Company (VOC) medikte perdagangan dengan Mataram, bahkan lebih jauh lagi mempengaruhi sistem Pemerintahan Hindia Belanda (Sachari, 2000).


Timur dan Barat
Sebaiknya kita menyimak terlebih dahulu pidato Arthur James Balfour pada tanggal 13 Juni 1910 di depan Majelis Rendah Inggris mengenai “masalah-masalah yang harus digarap di Mesir”. Dia berbicara dengan otorita sebagai anggota parlemen kawakan, mantan perdana mentri, dan jabatan-jabatan lainnya yang penting di Inggris. Balfour sama sekali tidak mengingkari superioritas Inggris dan inferioritas Mesir, ia menganggap hal itu tidak perlu dipersoalkan lagi, ia mengatakan: ”Cobalah anda telusuri sejarah bangsa-bangsa di negeri-negeri Timur; Pasti anda tidak akan pernah menemukan jejak-jejak pemerintahan oleh diri sendiri. Ini adalah fakta, ini bukan masalah superioritas dan inferioritas”.

Karena semua dianggap fakta, maka Balfour mesti melangkah terus kepada bagian selanjutnya dari argumentasinya: “saya kira pengalaman membuktikan bahwa, untuk mereka pemerintahan kita jauh lebih baik dibandingkan yang pernah ada dalam seluruh sejarah mereka sebelumnya.” Pandangan–pandangan Balfour memberikan bukti bagaimana Barat dengan pongahnya membentuk opini bahwa mereka adalah rujukan kebenaran.

Selanjutnya Barat bepandangan orang-orang Timur ditampilkan sebagai makhluk yang mudah dikecoh, tak mempunyai energi dan inisiatif, suka menjilat, berpura-pura, licik; orang-orang Timur tidak bisa berjalan di jalan raya atau trotoar (otak mereka yang kacau tak mampu memahami apa yang dapat dipahami dengan cepat oleh otak Eropa yang cerdas); orang-orang Timur adalah pembohong-pembohong karatan dan mencurigakan (Said,1979).

Balfour dan Cromer secara khas mengemukakan beberapa istilah. Orang Timur dikatakan irasional, bejad moral, kekanak-kanakan, ”berbeda”; jadi orang Eropa adalah rasional, berbudi luhur, dewasa, ”normal”. Kejahatan orang Timur adalah karena ia orang Timur (Bracken,1973). Bangsa Barbar yang begitu cerdas dan hebat di Afrika Utara oleh Barat dianggap sebagai bangsa yang rendah, bangsa yang biadab, bangsa primitif, hanya disebabkan bangsa Eropa kalah perang di sana. Pandangan mengenai bangsa Barbar sudah terpatri negatif di setiap otak manusia di muka jagat ini.


Indonesia Kita
Indonesia yang telah mengalami penjajahan bangsa-bangsa Eropa tidak kurang dari tiga setengah abad, tentu saja dalam relung-relung raga, dalam aliran darah, dalam degupan jantung, dalam helaan nafas kita telah terpatri superiotas Negara-negara Eropa dan inferiotas Indonesia. Implikasi penjajahan bukan hanya berpengaruh pada kekuatan fisik, melainkan yang paling dahsyat justru menggerogoti kekuatan psike, yang secara keseluruhan berpengaruh besar terhadap imajinasi, kreatifitas, dan perilaku (Ratna, 2008).

Belanda pada saat itu secara sistematis memberi kesan bahwa mereka adalah bangsa yang superior, pada masa kolonial mereka dengan sengaja membuat atlas yang menggambarkan kepulauan “Indonesia” lebih kecil dibandingkan dengan Negeri Belanda, tentu tujuannya yaitu sebagai dampak psikologis bahwa Negeri Belanda sebagai penjajah lebih luas dibandingkan Kepulauan Nusantara yang dijajah. Padahal dalam kenyataannya luas Negeri Belanda secara keseluruhannya hanyalah 41.160 km2, kira-kira tujuh kali luas pulau Bali (Ratna, 2008).

Penelitian mengenai perbedaan detail-detail lukisan Perang Diponegoro yang dilakukan oleh dua orang pelukis berbeda, yaitu Raden Saleh dan Nicolaas Pieneman. Dalam lukisan Raden Saleh (1857), Pangeran Diponegoro berdiri tegap, tangan terkepal menahan amarah, dada dibusungkan. Jendral de Kock dilukiskan dengan keadaan diam membisu, seolah-olah malu terhadap penangkapan tersebut. Sebaliknya dalam lukisan Pieneman (1830) Diponegoro tampak berwajah lesu, kedua tangannya terkulai, dikelilingi para pengikutnya dengan senjata tombak yang sudah terkumpul di tanah sebagai tanda menyerah. Jendral de Kock berdiri dengan bertolak pinggang.

Pakaian juga merupakan prestis bagi individu yang memakainya. Jas dan dasi, termasuk sepatu pada dasarnya merupakan pelindung tubuh dari dingin, tetapi untuk kepentingan harga diri, sebagai generasi modern, maka atribut tersebut dianggap suatu keharusan. Sebagaimana digambarkan oleh orang Eropa bahwa laki-laki sebagai representasi Barat dan perempuan sebagi representasi Timur, yang berimplikasi pada cara berpakaian. Jas dan dasi digunakan oleh laki-laki Indonesia sebagai ciri dinamis, kekuasaan, sebaliknya perempuan masih menggunakan kain batik dan kebaya sebagai cirri statis dan masa lampau (Ratna, 2008).

Nilai-nilai, perilaku, dan produk budaya yang kita percayai dan hasilkan perlu dikoreksi, bukan berarti kita anti Barat, namun kita adalah Negara besar, dengan kebudayaan yang tinggi, dengan kecerdasan manusianya yang begitu hebat, kita harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Sinyal-sinyal itu sebenarnya telah mulai nampak, dengan lahirnya kebudayaan postmodern, namun apakah kita mampu menangkap dan memanfaatkannya, atau justru kita masih tetap gembira sebagai bangsa-bangsa terjajah.

Renungan
Akhirnya marilah kita merenung terhadap konstruksi-konstruksi budaya yang telah kita terima.
• Kita perhatikan kehidupan di sekeliling kita; gemerlapnya supermall, derunya kendaraan di jalan raya, wajah-wajah artis sinetron di televisi, dan gemerlapnya jas anggota dewan yang terhormat, adakah sisa-sisa darah kolonialisme di sana?
• Kita renungkan dalam KTSP, dalam GBPP dan SAP Diklat, dalam manajemen diklat, dalam powerpoint, dalam teriakan-teriakan Widyaiswara dan Instruktur, dalam untaian dasi para pejabat yang terhormat, masih adakah rasa rendah diri sebagai sebuah bangsa yang merdeka?
• Apakah di dada kita masih ada ruang yang memberikan motivasi pada anak-anak di sekolah (melalui guru) yang membuat mereka bangga menjadi orang Indonesia atau justru kita berbicara sebaliknya, bahwa bangsa kita adalah bangsa miskin, bahwa kita adalah masyarakat yang korup, bahwa kita komonitas loyo. Yang membuat kata-kata kita membunuh kebanggaan generasi muda.


(*)



DAFTAR BACAAN:

Agus Sachari dan Yan Yan Sunarya,Desain dan Dunia Kesenirupaan Indonesia dalam Wacana Trasformasi Budaya. Bandung : Penerbit ITB, 2000
Edwar W.Said, Orientalism. New York: Vintage Books 1979.
Harry Bracken.”Essence,Accident and Race”, Hermathena 116. Winter 1973.
Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

(*)

Lebih baik pantas menerima penghargaan tetapi tidak memperolehnya daripada beroleh penghormatan tetapi tidak layak menerimanya (Mark Twain)

Jangan bekerja sama dengan kejahatan sebab kewajiban kita adalah bekerja sama dengan kebaikan (Gandhi)

Apabila Anda mendewakan uang Anda, ia akan menggangu seperti setan (Henry Fielding)

Ketamakan adalah biang dari keinginan-keinginan yang tidak terpuaskan (Peribahasa Afrika)

Tata krama adalah seni untuk membuat orang merasa tidak canggung bercakap-cakap dengan kita (Jonathan Swift)

0 komentar:

Posting Komentar