Sufisme Dalam Lakon “Dewa Ruci” (3)
4.2. Asal-usul Manusia
Manusia tercipta dari bersatunya trimurti dan hawa. Trimurti adalah cahaya matahari, bulan, dan bintang. Sedangkan hawa adalah inti sari bumi yaitu; api, tanah, air, dan angin. Setelah segala unsur trimurti dan hawa ini bersatu menghasilkan apa yang disebut tirta nirmaya (air suci). Air suci ini kemudian mendapat ruh dari Tuhan hingga akhirnya menjadi wujud manusia. Jadi, dapat dikatakan bahwa kekuasaan Tuhan adalah mutlak dalam menentukan terciptanya manusia.
4.3. Ilmu Sejati dan Prinsip Sejati
Untuk mendapatkan ilmu sejati seseorang harus senantiasa menyembah dan meluhurkan nama Tuhan. Meluhurkan nama Tuhan dengan menyebut nama-Nya dalam setiap tarikan dan hembusan nafas. Di samping itu seseorang harus dapat mencegah hawa nafsu, tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan melakukan segala hal dengan tulus ikhlas serta penuh kesabaran.
Pelaksanaan ilmu sejati tersebut berpatok pada prinsip-prinsip kesejatian. Untuk memahami makna prinsip sejati ini hanya bisa ditemukan dengan jalan menjauhkan dirinya dari rasa cemburu dan iri, selalu sabar dan menerima segala hal yang terjadi, selalu mengharap kasih Tuhan, suka berbuat kebajikan, suka menolong orang yang berada dalam kesusahan, teliti dalam segala hal serta harus senantiasa menjaga kesadaran dan selalu mawas diri.
4.4. Makrokosmos dan Mikrokosmos
Sebelum masuk ke dalam rahim Dewa Ruci, Werkudara merasa ragu. Apakah ia yang bertubuh besar itu bisa masuk ke dalam rahim Dewa Ruci melalui lubang telinga sementara ukuran tubuh Dewa Ruci sendiri sangatlah kecil? Pertanyaan ini dijawab oleh Dewa Ruci bahwa Werkudara melihat kecil karena tidak menggunakan pramana jati (mata batin/kalbu). Tersentak Werkudara karena setelah melihat dengan menggunakan mata batinnya ia dapat menyaksikan jagad raya melalui telinga Dewa Ruci.
Werkudara kemudian memasuki jagat (rahim) Dewa Ruci. Selanjutnya Dewa Ruci menjelaskan bahwa sesungguhnya alam semesta atau jagat raya (makrokosmos) itu isinya tidak jauh berbeda dengan apa yang ada dalam rahim Dewa Ruci (mikrokosmos). Segala apa yang terjadi di jagat raya dapat diketahui dari rahim Dewa Ruci. Sesunguhnya jagat raya itu tidak berubah dari dulu hingga sekarang sama dengan apa yang nampak dalam jagat Dewa Ruci tidak berubah dari dulu hingga sekarang. Keteraturan mikrokosmos mengambarkan keteraturan makrokosmos demikian juga sebaliknya.
4.5. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Setelah mendapat pelajaran dari Dewa Ruci, Werkudara merasa tenteram dan damai sehingga ia tidak mau lagi kembali ke Amarta. Dewa Ruci mengingatkan bahwa Werkudara adalah bagian dari masyarakatnya karena ia tumbuh dan berkembang dalam satu lingkungan masyarakat (keluarga). Manusia tidak bisa hidup sendirian. Manusia membutuhkan dan memberikan bantuan kepada manusia lain. Masih banyak tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul dalam meyelenggarakan hidup baik bagi keluarga, negara atau dirinya sendiri. Dewa Ruci tidak membenarkan keinginan Werkudara untuk menikmati dunianya sendiri. Manusia adalah makhluk sosial. Ia adalah bagian dari masyarakatnya.
5. Penutup
Sufisme masuk ke Indonesai bersamaan dengan masuknya agama Islam. Perkembangan Islam di Indonesia membawa pengaruh yang kuat bagi perkembangan kesenian. Di Jawa, perkembangan kesenian yang bernafaskan Islam ini dimulai dari berdirinya kerajaan Demak. Kesenian Wayang Beber warisan budaya Hindu-Budha diangkut ke Demak untuk kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam oleh para Wali. Keterlibatan para Wali tidak hanya sekedar mengubah bentuk perwujudan wayang akan tetapi juga menciptakan silsilah dalam lakon wayang yang membawa misi ke-Islaman. Sebagai media dakwah, kesenian wayang sangatlah efektif. Misi-misi keagamaan yang hendak disampaikan mudah diterima oleh masyarakat.
Dewa Ruci adalah salah satu lakon yang berisikan tentang ajaran Islam (tasawuf). Dari lakon tersebut dapat diketahui pandangan-pandangan Islam yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Dewa tidak lagi memiliki otoritas tertinggi karena ia masih dapat berbuat kesalahan dan menerima hukuman sebagai imbalannya (Dewa Indra dan Bayu) bahkan dapat dibebaskan dari hukuman oleh seorang manusia (Werkudara). Tataran keimanan seseorang tidak tergantung pada jabatan atau kekuasaan akan tetapi terletak dalam kesungguhan dan keikhlasan ketika berbuat dan menghayati perbuatan sebagai bagian dari ibadah suci. Werkudara sebagai wakil manusia biasa mampu membuktikan bahwa ia sanggup mendapatkan pencerahan dalam petualangan spiritual melalui dirinya sendiri. Dengan niat ikhlas ia dapat menemukan apa yang ia cari, kawruh sangkan paraning dumadi atau banyu perwita suci.
--@--
Bacaan:
Dr. Hazim Amir, MA., Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
Dr. Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995.
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Jos Janssen, Ben Arps, Walter Slosse, Wayang Op De Radio, De Wandelende Tak, VPRO, Amsterdam, 1987.
Kamajaya, Sudibyo Z. Hadisutjipto, Serat Sastramiruda, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1981.
Sufisme Dalam Lakon “Dewa Ruci” (2)
3. Dewa Ruci dan Sufisme
Kisah Dewa Ruci secara keseluruhan memuat pengertian bahwa manusia harus sampai pada sumber air hidupnya sendiri apabila ia mau mencapai kesempurnaan dan dengan demikian sampai pada realitasnya yang paling dalam. Untuk mencapai kesempurnaan tersebut harus melalui berbagai tahap. Ada dua tahapan penting dalam tasawuf Islam yaitu; penyucian hati dan dzikir (berdoa) kepada Tuhan (Simuh, 1999:37). Dalam lakon “Dewa Ruci” tahapan-tahapan tersebut telah dilalui oleh Werkudara hingga ia bisa masuk ke dalam diri-dalamnya (inner self).
Tahapan pertama digambarkan dengan niat tulus Werkudara untuk mencari kawruh sangkan paraning dumadi. Meskipun ia sebenarnya ditipu oleh gurunya dan dilarang oleh keluarganya ia tetap melakukan niat tersebut. Niat yang kuat ini digambarkan dengan istilah kayu gung susuhing angin. Dewa ruci menjelaskan kepada Werkudara bahwa yang dimaksud dengan kayu gung susuhing angin adalah semangat, kekuatan dan ketulusan yang dimilikinya dalam menuntut ilmu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kayu adalah kajeng yang berarti karep atau keinginan, sedangkan gung berarti besar. Susuhing angin atau sarang angin itu terletak di dalam napas manusia (Werkudara). Keinginan yang besar tidak ada artinya jika tidak disertai oleh napas yang kuat.
Dalam fase ini Werkudara mengalami penyucian hati. Dengan satu tekad, satu niat yang tulus ia melakukan laku spiritual yang digambarkan dengan perjalanan Werkudara ke puncak Gunung Candramuka sampai ke tengah samudera. Werkudara dengan tegas mencoba meretas hal-hal yang bersifat keduniaan, dalam hatinya hanya ada satu tujuan. Ia tidak terpengaruh oleh saran dan larangan keluarganya. Bukan berarti bahwa Werkudara tidak menghormati mereka akan tetapi dengan memikirkan kembali apa yang terjadi di luar dirinya akan mempengaruhi kebulatan tekadnya, dengan demikian akan mempengaruhi tahap penyucian hati yang ia lakukan.
Tahapan kedua adalah tahap awang-uwung atau kekosongan tanpa batas. Werkudara mengalami keadaan ini ketika ia berhasil mengalahkan Naga Nemburnawa yang dapat dianalogikan dengan nafsu duniawi Werkudara. Setelah terbebas dari nafsu duniawi, Werkudara mengalami ekstasi dan berada dalam kondisi awang-uwung. Keadaan ini membawa Werkudara bertemu dengan Dewa Ruci yang tidak lain adalah realitas-dalam dirinya sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rahim Dewa ruci melalui telinga sebelah kanan. Maksud dari telinga sebelah kanan adalah bahwa untuk mencapai realitasnya yang paling dalam Werkudara harus mampu mendengarkan segala kebaikan (hati nuraninya).
Begitu berada di dalam perut Dewa ruci Werkudara tidak bisa mengetahui arah; atas, bawah, utara, selatan, barat atau timur. Selanjutnya Dewa Ruci menerangkan untuk dapat menembus kekosongan (ketidaktahuan) tersebut Werkudara harus kembali ngesthi (berdoa/dzikir) dengan segala kesungguhan dan kepasrahan. Setelah melakukan doa khusyuk akhirnya Werkudara mulai mengetahui arah dan bisa dengan pelan-pelan membiasakan diri terhadap keadaan yang dialaminya.
Werkudara merasa kagum dengan keberadaannya. Ternyata berada di dalam rahim Dewa Ruci sangat menyenangkan. Segalanya tampak indah. Ketenteraman, kedamaian, ketenangan menyelimuti segenap perasaannya. Dewa Ruci menanyakan kepada Werkudara apakah ia merasa betah tinggal di situ. Bagi Werkudara tidak ada lagi tempat terindah selain di dalam rahim Dewa Ruci. Ia tidak dapat merasakan apa-apa lagi selain keindahan. Ia telah merasa nikmat dengan realitas-dalam dirinya sendiri.
4. Pencerahan
Setelah melampaui tahap penyucian hati dan doa (dzikir) tersebut Werkudara menemukan diri-dalamnya dan mengalami pencerahan. Ia mendapatkan penjelasan tentang segala sesuatu yang ingin diketahuinya. Dalam fase ini Werkudara menemukan hakekat banyu perwita suci yang terangkum dalam pengertian-pengertian meliputi; hakekat dan sifat manusia, asal-usul manusia (Werkudara), ajining ngelmu (ilmu sejati) dan suruping panemu (prinsip sejati), makrokosmos dan mikrokosmos serta manusia sebagai makhluk sosial.
4.1. Hakekat dan Sifat Manusia
Hakekat manusia dalam lakon itu disebutkan terdiri dari zat, sifat, asma (nama) dan apengal (af’al). Zat itu artinya cipta sedangkan sifat itu adalah wujud. Bersatunya antara cipta dan wujud menjadi lahir dan batin manusia. Sedangkan asma itu adalah manusia dan apengal adalah pramana (prinsip hidup Illahi yang ada dalam diri manusia dan memberi hidup). Menyatunya asma dan apengal menjadi Kawula (manusia) dan Gusti (Tuhan). Untuk itu segala tingkah laku dan tindak-tanduk manusia hendaknya mengarah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Sifat manusia digambarkan sebagai cahaya empat warna; merah, hitam, kuning dan putih. Merah adalah perwujudan dari sifat sirik, iri, dengki, dan suka bertindak jahat. Hitam adalah sifat suka mengumbar nafsu makan, suka tidur, mengumbar nafsu, mudah marah, dan galak. Kuning adalah sifat suka lancang, suka mencuri, membenci kedamaian, dan jika terdesak mudah sekali untuk berbuat culas. Warna putih menggambarkan sifat suka berbuat baik, rajin, menerima, sosial, dan suka berkawan.
Dalam menjalani kehidupan, seorang manusia harus memahami keempat warna (kelompok sifat) tersebut. Tidak ada satu sifat yang lebih dominan dari sifat yang lain, semuanya meng-ada dan menyatu dalam setiap diri manusia. Semua sifat tersebut menciptakan keseimbangan dan harmoni kehidupan manusia di alam semesta ini. Dengan mengenal secara mendalam keempat jenis sifat tersebut maka seseorang akan mengerti dengan benar keadaan alamiahnya sehingga akan mampu mengendalikan seluruh tindak-tanduknya.
Sufisme Dalam Lakon “Dewa Ruci” (1)
1. Pengantar
Gerakan sufi atau mistik Islam atau tasawuf muncul dikarenakan adanya segolongan umat Islam yang tidak puas dengan perkembangan teologi Islam yang amat rasionalis dan pengembangan hukum Islam yang formalis dan legalis. Baik rasionalis ataupun kaitannya dengan legalisme dianggap mendangkalkan dan mengeringkan perasaan agama. Sebagai reaksinya golongan penganut mistik lebih mementingkan rasa dan penghayatan agama dengan dilonggarkannya ikatan-ikatan terhadap syariat. Pelopor sufisme ini antara lain Ibrahim bin Adham dan Rabiah al Adawiyah yang mengenalkan pendekatan baru yaitu cinta dan rindu kepada Tuhan sehingga membangkitkan rasa rindu untuk bertemu muka dan berasyik-masyuk dengan Dzat yang dicintainya (Simuh, 1999:39).
Perkembangan sufi di Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam pada abad XIII Masehi. Hal ini ditandai dengan berdirinya Kerajaan Samodra Pasai. Secara historis, penyebaran agama Islam ini terbukukan dalam naskah-naskah Melayu dan Jawa Kuno yang ditulis sekitar abad XVI Masehi. Dari naskah-naskah ini dapat diketahui secara pasti bahwa semua Islam yang ada di Indonesia merupakan Islam sufi (Simuh, 1999:14).
Di Jawa, ajaran sufi atau mistik Islam ini mendapat sambutan yang hangat dikarenakan sebelum kedatangan agama Islam, tradisi Hindu-Budha juga didominasi oleh ajaran mistik. Perkembangan Islam di Jawa bersamaan dengan semakin merosotnya kekuasaan Majapahit. Hal ini sangat menguntungkan karena agama Islam di satu sisi bisa menjadi lambang perlawanan terhadap Majapahit dan di sisi lain menjadi alternatif pandangan hidup (Magnis Suseno, 1993:31).
Kedatangan Islam di Jawa ini membawa pengaruh yang kuat bagi perkembangan kesenian masyarakat Jawa. Berdirinya kerajaan Demak menandai hal tersebut dengan mengusung kesenian Wayang Beber ke Demak. Dikarenakan perwujudan Wayang Beber yang tidak sesuai dengan hukum Islam (fiqih) maka para Wali (Ulama Jawa) sedikit demi sedikit mengadakan perubahan terhadap bentuk wayang tersebut (Kamajaya dan Hadisutjipto, 1981:15). Keterlibatan para Wali dalam perkembangan kesenian wayang tersebut sangat kuat karena pada masa itu kesenian wayang digunakan sebagai media dakwah.
Guna mendukung dakwah penyebaran agama tersebut para Wali menyusun silsilah baru tokoh-tokoh wayang yang sama sekali berlainan dengan silsilah Hindu aslinya. Di samping itu mereka juga menyusun lakon-lakon yang bernafaskan Islam seperti; “Jimat Kalimasada” dan “Dewa Ruci” (Hazim Amir, 1994:46). Dalam lakon-lakon tersebut para Wali memasukkan ajaran mistik Islam, terutama dalam lakon “Dewa Ruci”. Lakon “Dewa Ruci” yang hendak dibahas di bawah ini adalah lakon versi Ki Anom Suroto yang tertuang dalam diktat Wayang Op De Radio (Jos Janssen, Ben Arps, Walter Slosse, Wayang Op De Radio, De Wandelende Tak, VPRO, Amsterdam, 1987) yang transkripsinya secara khusus dikerjakan oleh Ben Arps.
2. Ringkasan Lakon “Dewa Ruci”
Cerita “Dewa Ruci” dimulai dari keinginan Werkudara untuk mengetahui kawruh sangkan paraning dumadi (har. Ilmu kesejatian hidup). Untuk itu ia datang menghadap di kerajaan Astina. Werkudara mengutarakan maksudnya kepada sang guru Pendeta Durna dengan disaksikan oleh Duryudana (raja Astina) dan Patih Arya Sangkuni. Durna menyanggupi keinginan Werkudara dengan syarat ia mampu mencari kayu gung susuhing angin (har. kayu besar sarang angin) di puncak gunung Candramuka. Werkudara sanggup dan segera berangkat.
Duryudana dan Arya Sangkuni tidak setuju dengan pendapat Durna yang mengabulkan permintaan Werkudara. Seharusnya Durna menjebak Werkudara agar terbunuh karena dengan demikian kekuatan Pandawa akan menjadi berkurang. Durna menjelaskan bahwa perintah yang ia berikan kepada Werkudara sudah merupakan jebakan. Gunung Candramuka terkenal sangat bahaya dan disana tidak ada yang namanya kayu gung susuhing angin. Duryudana dan Sangkuni senang mendengar hal tersebut dan mereka mengharap Werkudara akan segera menemui ajalnya di Gunung Candramuka.
Werkudara telah sampai di puncak Gunung Candramuka. Tidak ada kayu gung susuhing angin. Ia justru bertemu dengan dua raksasa Rukmuka dan Rukmakala. Werkudara mengatakan apa tujuannya datang ke Gunung Candramuka. Rukmuka dan Rukmakala mengatakan bahwa apa yang dicari oleh Werkudara tidak ada di tempat itu. Bahkan ia dianggap telah mengganggu kedua raksasa tersebut. Rukmuka dan Rukmakala bersedia memangsa Werkudara. Mereka berkelahi dan akhirnya Werkudara dapat membinasakan kedua raksasa tersebut.
Ternyata kedua raksasa tersebut adalah penjelmaan Dewa Indra dan Dewa Bayu. Mereka menjadi raksasa karena mendapatkan hukuman dari Bathara Guru. Dewa Indra dan Bayu berterimakasih kepada Werkudara karena secara tidak sengaja ia telah membebaskan para dewa tersebut dari hukuman. Kemudian mereka memberi cinderamata kepada Werkudara dan menyarankan agar Werkudara kembali kepada gurunya karena di tempat itu tidak ada yang namanya kayu gung susuhing angin. Atas saran tersebut Werkudara segera kembali ke Astina.
Kecewa hati Duryudana begitu mendengar Werkudara pulang dengan selamat. Kembali ia mendesak Pendeta Durna untuk membuat siasat lagi. Dengan kelicikannya Durna mengatakan kepada Werkudara bahwa ia sesungguhnya hanya menguji tekad Werkudara untuk mendapatkan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kawruh tersebut dapat dicapai oleh Werkudara jika ia mampu menemukan banyu perwita suci yang ada di tengah samudra. Di mana letak samudra itu sendiri terserah kehendak hati Werkudara.
Werkudara menyanggupi perintah gurunya. Meski telah dilarang keras oleh keluarganya ia tetap nekat. Dengan kebulatan tekad ia berangkat menuju laut selatan. Di tengah laut tersebut ia menjumpai seekor naga besar yang disebut Naga Nemburnawa. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Naga binasa dan Werkudara dalam keadaan antara hidup dan mati tenggelam ke dasar samudra. Dalam kondisi setengah sadar itu Werkudara menjumpai seorang bocah kecil yang wajahnya sangat mirip dengan dirinya. Ternyata bocah itu adalah seorang dewa yang bernama Dewa Ruci. Dari pertemuan dengan Dewa Ruci inilah kawruh sangkan paraning dumadi yang dikehendaki oleh Werkudara mendapatkan jawabannya.
Fungsi Seni Karawitan Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa (4)
Seni Karawitan dan Masyarakat
Seni dan masyarakat ibarat simbiosis mutualisme, keduanya saling ketergantungan, membutuhkan. Perubahan di satu sisi akan berpengaruh terhadap sisi lainnya. Demikian juga yang berlaku pada seni karawitan. Perkembangannya sangat tergantung pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Sehingga saat ini munculah berbagai macam bentuk pertunjukan dengan latar belakang seni karawitan, seperti campursari, kolaborasi musik diatonis dan pentatonis, karawitan modern, maupun kontemporer.
Dewasa ini sebagaian besar masyarakat menganut konsep hidup “ praktis dan ekonomis “. Salah satu akibatnya adalah kemasan suatu bentuk seni harus beorientasi pada konsep hidup tersebut. Dalam seni karawitan tradisi, perubahan yang terjadi ditandai dengan semakin banyaknya gending-gending srambahan yang disajikan dalam suatu hajatan.
Dahulu orang akan dengan santainya mendengarkan gending-gending klasik yang berdurasi lama, disertai dengan minum kopi, merokok, ngobrol kesana kemari sampai menjelang pagi, dan ini seakan bagian dari hidupnya. Fenomena seperti itu sekarang sudah jarang ditemui. Kecenderungannya baik yang punya hajat maupun tamu undangan hanya menyesuaikan dengan kebutuhan acara saat itu. Perubahan yang demikian menjadikan keberadaan seni karawitan dianggap kurang mewadahi kebutuhan masyarakat pendukungnya, kurang komunikatif, dan atau istilah lain yang intinya seni karawitan sudah kurang sesuai dengan kondisi jaman sekarang.
Pendapat yang demikian masih memerlukan pembuktian secara ilmiah, karena sebagai salah satu bagian dari produk budaya, seni karawitan mempunyai hak untuk dikomunikasikan kepada masyarakat. Adapun syarat untuk dikomukasikan antara lain harus nampak baik secara audio maupun visual. Jelas dengan syarat tersebut seni karawitan dapat memenuhi kriteria sebagai produk budaya yang dapat berkomunikasi kepada masyarakat. Secara visual dapat dilihat bahwa karawitan dimainkan dengan menggunakan seperangkat alat yang disebut gamelan, yang masing-masing instrumennya mempunyai tugas dan kewajibannya sendiri-sendiri, sedangkan secara audio dapat dirasakan melalui suara merdu gamelan mengalunkan gending-gending dengan karakter yang berbeda, dapat menggambarkan serta mempengaruhi jiwa maupun perasaan seseorang, bahkan dalam lingkup yang lebih besar yaitu masyarakat.
III. Penutup
Berdasarkan paparan di muka, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa fungsi seni karawitan dalam kehidupan masyarakat sangat dominan. Seni karawitan dapat berfungsi sebagai sarana upacara, hiburan, yang bersifat sederhana, maupun rumit, antara seni karawitan dengan masyarakat ibarat sekeping uang logam, karawitan selalu ada di dalam jiwa manusia, karena dalam menjalani kehidupannya manusia selalu berirama.
Fungsi seni karawitan yang sangat menonjol adalah sebagai sarana komunikasi. Suatu bentuk seni yang berbobot harus mampu menyampaikan atau berkomunikasi dengan baik. Maksud atau makna dari suatu karya seni tidak akan sampai ke dalam hati sang pengamat apabila komunikasinya kurang efektif, hubungan antara karya dan yang menyaksikannya tidak mantap (Djelantik, 2004:56). Dalam hal ini, seni karawitan dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang efektif, baik secara vertikal maupun horisontal.
Secara vertikal kemampuan seni karawitan dalam berkomunikasi terwadahi dalam bentuk gending sebagai kumpulan nada-nada yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa enak apabila didengarkan. Gending dalam seni karawitan mempunyai karakter yang berbeda, ada yang berkarakter gembira, sedih, prenes, dan lain sebagainya. Bahkan ada beberapa gending yang dianggap keramat, dan diyakini mempunyai kekuatan tertentu. Untuk membunyikannya memerlukan sesaji khusus. Kekuatan gending tersebut dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta.
Dalam konteks yang lain Judith Baker menginterpretasikan bahwa melodi musik jawa (gamelan) mempunyai kaitan erat dengan sistem kepercayaan asta-wara, yaitu siklus kalender bulan dan sistem pengetahuan Jawa. Siklus ketukan gong dapat dibagi menjadi setengah kenong, seperempat kempul, seperdelapan kethuk, seperenambelas saron, dan sepertigapuluh bonang barung (Fananie, 2000: 134).
Secara horisontal, komunikasi pada seni karawitan tercermin dari hasil sajian yang merupakan hasil kerjasama antar unsur yang ada pada seni karawitan, bersifat kolektif, saling mendukung untuk memberi tempat berekspresi sesuai dengan hak dan kewajibannya.. Hal ini sesuai dengan pola hidup masyarakat Jawa yang sebagian besar menganut asas gotong-royong, lebih mengutamakan kebersamaan.
Untuk mendapatkan sajian yang baik, para pemain (pengrawit) saling berhubungan, berkomunikasi satu dengan lainnya. Komunikasi disini tidak secara jelas, tetapi terwujud dalam permainan instrumen sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Disamping itu, banyak terdapat cakepan dalam tembang, baik itu disajikan dengan bentuk gerong, sindhenan, bowo, atau lainnya, yang semuanya memuat ajaran luhur untuk berbuat kebaikan, meskipun banyak yang berupa sanepa, simbol.
Simbol-simbol yang ada dalam seni karawitan dapat dikatakan menyerupai filosofi manusia, maupun pola hidup manusia. Diantaranya, penyebutan nada-nada instrumen dalam laras slendro, 1 (Barang), 2 (Gulu/Jangga), 3 (Dhadha), 5 (Lima), 6 (Nem), dan 1 (Barang alit). Nama-nama tersebut penggambaran atau ditafsirkan sebagai bagian organ tubuh manusia. Selain itu dari nada-nada laras slendro (1,2,3,5,6) apabila kita jumlah menjadi 17. Jumlah tersebut sesuai dengan kewajiban hidup masyarakat penganut agama Islam, yaitu menjalankan sholat wajib sehari semalam 17 rakaat. Misteri angka 17 dalam laras slendro dapat pula dihubungkan dengan peristiwa besar yang terjadi di Indonesia, yaitu terbebasnya negara Indonesia dari penjajah atau merdeka yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa komunikasi tidak hanya menggunakan sesuatu yang berwujud nyata, jelas artinya, tetapi dapat juga dengan bahasa simbol. Komunikasi dapat sebagai aktivitas simbolis, karena aktivitas komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol bermakna yang diubah ke dalam kata-kata (verbal) untuk ditulis dan diucapkan, atau simbol ‘bukan kata-kata verbal’ untuk ‘diperagakan’ (Liliweri, 2003: 5).
(*)
Daftar Pustaka
A.A.M., Djelantik, Estetika Sebuah Pengantar, Bandung: MSPI Bekerjasama dengan Arti, Cetakan ketiga 2004.
Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, LKiS Yogyakarta. 2003.
Bram Palgunadi, Serat Kandha Karawitan Jawi, Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2002.
Djojokoesoemo, G.P.H., Kesenian Selayang Pandang, Surakarta: Udan Mas, t.t.
Driyarkara, Driyarkara Tentang Kebudayaan, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1980.
Mantle Hood, Javanese Gamelan in the World of Music, terj. Hardjo Susilo, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1958.
Martopangrawit, “Pengetahuan karawitan I”, Surakarta: ASKI Surakarta, 1975.
S. Prawiroatmojo, Bausastra Jawa-Indonesia, Jakarta: P.T. Gunung Agung, 1985.
Sindusawarna, Ki., “Karawitan Jilid I” Surakarta: t.p., t.t.
Soedarso, Sp., Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Yogyakarta: Akademi Seni Rupa Indonesia, 1976.
Soemodiningrat, K.R.M.T.H., Serat Karawitan, Sragen: Holah Karawitan, 1936.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, Edisi Baru Keempat, 1990.
Soeroso, Menuju ke garapan Komposisi karawitan, Yogyakarta: AMI Yogyakarta, 1975.
Soeroso, “Pengetahuan Karawitan” Laporan Pelaksanaan Penulisan Buku/Diktat Perkuliahan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta: Proyek Peningkatan Pengembangan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1985/1986.
Suhastjarja, R.M.A.P., et. al., “Analisa Bentuk Karawitan”, Yogyakarta: Proyek Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta, 1984/1985.
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Waridi, “Gending Dalam Pandangan Orang Jawa: Makna, Fungsi Sosial, dan Hubungan Seni”, dalam Kembang Setaman Persembahan Untuk Sang Maha Guru, A.M. Hermin Kusmayati (ed.), Yogyakarta: BP ISI, 2003.
Zainuddin Fananie, Restrukturisasi Budaya Jawa: Perspektif KGPAA MN I, Surakarta: Muhammadiyah University, 2000.
****
Menyikat lantai dan membersihkan pispot sama mulianya dengan pekerjaan presiden (Richard M. Nixon)
Pikiran jahat menunjukkan bahwa kita sakit, jadi kita harus menghindarinya (Gandhi)
Sungguh baik untuk memiliki uang dan hal-hal yang bisa dibeli dengan uang, tetapi sungguh baik pula untuk sekali-kali memeriksa dan meyakinkan diri kita, bahwa kita tidak kehilangan hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang (George Horace Lorimer)
Kebohongan bukan cuma berlawanan dengan kebenaran, tetapi juga sering saling bertentangan di antara mereka sendiri (Daniel Webster)
Orang yang mengakui ketidaktahuannya cuma orang yang menunjukkan ketidaktahuannya sekali; orang yang mencoba menutup-nutupi ketidaktahuannya menunjukkannya berulang-ulang (Peribahasa Jepang)
Fungsi Seni Karawitan Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa (3)
Oleh: Kartiman
Definisi Seni Karawitan
Sebelum istilah karawitan mencapai popularitas di masyarakat seperti sekarang ini, dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di lingkungan daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, sudah sering terdengar kata rawit yang artinya halus, indah-indah (Prawiroatmojo, 1985:134). Begitu pula sudah terdengar kata ngrawit yang artinya suatu karya seni yang memiliki sifat-sifat yang halus, rumit, dan indah (Soeroso: 1985,1986). Dari dua hal tersebut dapat diartikan bahwa seni karawitan berhubungan dengan sesuatu yang halus, dan rumit. Kehalusan dan kerumitan dalam seni karawitan tampak nyata dalam sajian gending maupun asesoris lainnya.
Suhastjarja (1984) mendefinisikan seni karawitan adalah musik Indonesia yang berlaras non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya sudah menggunakan sistim notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, sifat pathet, dan aturan garap dalam bentuk instrumentalia, vokalis dan campuran, enak didengar untuk dirinya maupun orang lain.
Martopangrawit (1975) berpendapat, seni karawitan adalah sebagai seni suara vokal dan instrumen yang menggunakan nada-nada yang berlaras slendro dan pelog.
Ki Sindusawarna dalam buku Karawitan Jilid I berpendapat, bahwa dari segi bahasa, karawitan berasal dari kata rawita, diberi awalan ka, dan akhiran an. Rawita artinya mengandung rawit, yang berarti halus, indah, rumit. Jadi karawitan berarti kumpulan dari segala yang mengandung kehalusan dan keindahan.
Soeroso (1975) mendefinisikan karawitan sebagai ungkapan jiwa manusia yang dilahirkan melalui nada-nada yang berlaras slendro dan pelog, diatur berirama, berbentuk, selaras, enak didengar dan enak dipandang, baik dalam vokal, instrumental, maupun garap campuran.
K.R.M.T.H. Soemodiningrat (1936) mendefinisikan karawitan dalam bentuk tembang macapat Dhandhanggulo sebagai berikut:
Kang ingaran krawitan winarni
tetabuhan gangsa tuwin tembang
katrine winastan joged
kumpuling telu iku
karawitan dipun wastani
tegese ka-alusan
alus trusing kalbu
dadi tetengering bangsa
ing sadhengah bangsa mesthi handarbeni
lelangen karawitan
yang disebut karawitan adalah
bunyi dari gamelan serta tembang
yang ketiga disebut dengan joged
kesatuan dari ketiganya itu
disebut karawitan
artinya adalah kehalusan budi
merasuk ke dalam sanubari
itu semua menjadi lambang suatu bangsa
dimana setiap bangsa tentu memilikinya
berolah karawitan
Perkembangan Seni Karawitan
Berdasarkan sejarah, keberadaan gamelan sudah berabad-abad lamanya. Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan-tulisan, maupun prasasti-prasasti di dinding candi yang ditemukan. Perkembangan selanjutnya dari masa ke masa mengalami perubahan, baik bentuk, jenis, maupun fungsinya. Dari yang sangat sederhana, menjadi sederhana, kemudian menjadi lebih komplit. Bukti tertua mengenai keberadaan alat-alat musik tradisional Jawa dan berbagai macam bentuk permainannya dapat ditemukan pada piagam Tuk Mas yang bertuliskan huruf Pallawa. Keserdehanaan bentuk, jenis dan fungsinya tentu berkaitan erat dengan pola hidup masyarakat pada waktu itu. Pada piagam tersebut terdapat gambar sangka-kala, yaitu semacam terompet kuno yang digunakan untuk perlengkapan upacara keagamaan (Palgunadi, 2002:7).
Kehidupan seni karawitan sejauh ini sudah mengalami perjalanan sejarah yang panjang bersamaan dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit, dan Mataram. Dibawah kekuasaan kerajaan-kerajaan tersebut, gamelan (seni karawitan) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sehingga menarik para ilmuwan asing untuk mempelajari dan mendokumentasikan. Banyak penemuan-penemuan hasil penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan asing. Sebagian hasil penemuan tersebut selanjutnya digunakan untuk mempelajari seni karawitan.
Perkembangan yang terjadi pada dunia seni karawitan menggambarkan bahwa seni karawitan merupakan suatu produk kebudayaan yang selalu ingin berkembang, menyesuaikan dengan kondisi jaman. Hal ini sesuai dengan kodratnya, bahwa seni karawitan sebagaimana cabang seni pertunjukan tradisi lainnya dikategorikan dalam jenis seni komunal, yaitu seni yang lahir dari, oleh, dan untuk masyarakat. Keberadaan dan perkembangannya tergantung pada kondisi masyarakat. Dalam konteks yang lain dapat dikategorikan dalam bentuk seni yang patronage, yaitu seni jenis yang mengabdi kepada sesuatu atau seseorang yang dianggap sebagai payungnya. Sehingga keberadaan dan perkembangannya tergantung pada penguasa.
Pada jaman kerajaan perkembangan seni karawitan berjalan pesat. Peran Raja sebagai penguasa tunggal sangat menentukan hidup dan matinya suatu bentuk seni. Seperti yang diutarakan dalam puisi abad ke-14 kakawin Negarakertagama, kerajaan Majapahit mempunyai lembaga khusus yang bertanggung jawab mengawasi program seni pertunjukan (Sumarsam, 2003:19). Begitu pentingnya seni pertunjukan (karawitan) sebagai suatu pertanda kekuasaan raja adalah keterlibatan gamelan dan teater pada upacara-upacara atau pesta-ria kraton (Sumarsam, 2003:11).
Perkembangan seni karawitan berlanjut dengan munculnya Kerajaan Mataram. Pada jaman ini dianggap sebagai tonggak seni karawitan, terutama untuk gaya Yogyakarta dan Surakarta. Tidak hanya penambahan jenis-jenis gamelan saja, melainkan fungsi seni karawitanpun mengalami perkembangan. Disamping sebagai sarana upacara, seni karawitan juga berfungsi sebagai hiburan. Dahulu seni karawitan produk kraton hanya dinikmati di lingkungan kraton. Selanjutnya karena keterbukaan kraton dan palilah Dalem, seni karawitan produk kraton sudah berbaur dengan masyarakat pendukungnya.
Dari realita tersebut terlihat begitu kuatnya peran penguasa dalam menentukan keberadaan suatu bentuk kesenian. “Sabda pandhito ratu” merupakan kebiasaan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan pada saat itu. Eksistensi dan perkembangan kesenian di masyarakat, keadaannya, penciptaannya, pelaksanaannya tergantung pada kegiatan para pendukung, dan adat kebiasaan yang berlaku. Popularitas suatu cabang seni bertalian erat dengan kegemaran orang banyak pada suatu waktu, hidup suburnya berkaitan dengan penghargaan, bantuan materiil dari penguasa (Djojokoesoemo, tt.:132-133).
Fungsi Seni Karawitan Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa (1)
I. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia hidup memerlukan santapan jasmani dan rokhani. Santapan jasmani merupakan kebutuhan hidup sehari-hari dalam bentuk lahiriah, sedang santapan rokhani diperuntukkan bagi jiwa manusia yang berkaitan erat dengan perasaan. Dengan perasaan manusia dapat menentukan sesuatu yang dilihat dan didengar itu baik atau buruk. Bahkan dengan perasaan dapat menghasilkan suatu sifat keindahan, keluhuran, dan lain sebagainya. Dalam berbagai pandangan dan pendapat, banyak yang menyebutkan bahwa apabila kita berbicara masalah keindahan kiranya tidak akan lepas dari seni. Karena seni itu sebagai suatu produk kehalusan yang indah-indah (Soedarso, 1976: 14).
Sebenarnya pandangan tersebut di atas bukan suatu hal yang mutlak. Hanya dalam keseharian kadang terjadi kekeliruan presepsi kita tentang seni, karena kurang ajegnya penggunaan/pemaknaan kata-kata seni dan keindahan. Banyak yang beranggapan bahwa semua yang indah adalah seni, atau sebaliknya, bahwa semua seni itu indah. Apabila seni sebagai ekspresi jiwa, maka suatu bentuk seni tidaklah mesti menampakkan keindahan bentuknya, tetapi yang nampak adalah rasa keindahan dari penciptanya. Semua berawal dari bagaimana perasaan yang ada pada pencipta ketika menciptakan suatu karyanya. Disamping itu anggapan tentang indahnya suatu bentuk seni tergantung juga pada penikmat. Apabila suatu karya seni sudah berada di tengah-tengah masyarakat, maka sedikit banyak legalitasnya akan tergantung pada masyarakat. Bagaimana masyarakat menerima dan menghargai suatu karya seni menjadi sangat penting. Dengan demikian suatu karya seni bukanlah milik pribadi penciptanya, melainkan sudah menjadi milik masyarakat penikmatnya. Sehingga eksistensi suatu karya seni tergantung kepada masyarakat.
Sebagai salah satu bidang dari kebudayaan, kedudukan seni dalam masyarakat tidak kalah pentingnya dengan bidang-bidang lain. Kesenian selalu hadir di tengah-tengah masyarakat. Kesenian selalu melekat pada kehidupan setiap manusia, dimana ada manusia disitu ada kesenian (Driyarkara, 1980: 8). Dengan demikian antara seni dengan manusia tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan. Manusia membutuhkan seni untuk keperluan hidupnya, sedang seni membutuhkan manusia sebagai pendukungnya. Sebagai pendukungnya, diharapkan manusia dapat melestarikan dan mengembangkan dengan menciptakan bentuk-bentuk baru yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi jaman maupun lingkungan. Disadari atau tidak, dalam mengembangkan suatu bentuk kesenian tidak akan lepas, dan selalu bersinggungan dengan aspek-aspek lain, seperti sosial, ekonomi, kepercayaan, adat-istiadat, dan lain sebagainya.
Dewasa ini, kesenian tidak selalu menduduki tempat yang sama dalam kehidupan masyarakat. Presepsi dan kegemaran bentuk kesenian antara daerah yang satu dengan lainnya berbeda. Peran perubahan sosial dalam berbagai aspek kehidupan manusia ikut menentukan keberadaan suatu bentuk seni. Sebagai pemegang hak atas mati dan hidupnya suatu bentuk seni, manusia berhak menciptakan, melestarikan, dan mengembangkan bentuk-bentuk seni yang disesuaikan dengan kondisi dimana dan kapan ia hidup. Dengan demikian, selama manusia hidup, seni tidak akan pernah mati. Melainkan turun-temurun, berputar, sesuai dengan kodrat dan hidup manusia. Hal ini sesuai dengan sifat kebudayaan sebagai sesuatu yang superorganic, yaitu kebudayaan yang tetap hidup terus, dan turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran (Soekanto, 1990: 188).
Dahulu ketika berada dalam kekuasaan kerajaan, maka segala bentuk, pola kehidupan masyarakat banyak diatur oleh kerajaan. Kedudukan seorang raja sebagai pemimpin akan menentukan nasib segalanya. Ketika seorang raja bersabda, maka segalanya akan berubah, termasuk didalamnya adalah kesenian. Sekarang ketika kerajaan sudah berkurang kekuasaannya, maka kehidupan masyarakat termasuk di dalamnya bentuk-bentuk seni, bebas untuk melakukan aktifitas. Seakan bebas dari belenggu, maka bentuk-bentuk seni pasca jaman kerajaan terkesan mulai saling menyapa, dan bergaul. Sekarang kehidupan kesenian di dalam kraton sudah tidak dimonopoli bentuk-bentuk seni istana. Bahkan, dalam acara-acara tertentu, bentuk-bentuk seni produk non kraton sudah terbiasa merambah masuk, dan dinikmati oleh masyarakat kraton (lingkungan istana). Alkulturasi akhirnya menjadi bagian yang sangat penting dalam menjaga eksistensinya.
Perubahan kondisi tersebut mengakibatkan banyak hal, salah satunya orientasi seniman dalam berkarya bergeser. Dahulu dalam berkarya seorang seniman selalu terbawa oleh kewenangan seorang raja, bahkan tidak sedikit karya-karya seni yang dipersembahkan kepada raja, sehingga banyak karya seni yang penciptanya diatasnamakan raja yang berkuasa pada saat itu. Sekarang, dalam berkarya seorang seniman tidak hanya berorientasi pada penguasa saja, melainkan masyarakat sebagai konsumen mendapatkan prioritas yang sama, karena masyarakatpun mempunyai kewenangan untuk menentukan bentuk, pengakuan, dan penghargaan akan legalitas suatu karya seni. Namun demikian tidaklah mudah seorang seniman untuk selalu mengikuti keinginan masyarakat “pasar”. Dengan berorientasi pada keinginan masyarakat kadangkala membuat seorang seniman menjadi dilematis. Tidak menutup kemungkinan karyanya bersifat tidak orisinal, tidak sesuai emosi jiwanya, tetapi lebih pada kebutuhan pasar, bahkan banyak pula yang lebih pada tuntutan ekonomi.
Antara Dalang, Wayang, dan Penanggap Sebuah Othak-Athik (3)
Dan ketika mulai terdengar gending-gending patalon yang umumnya terdiri dari : Cucurbawuk, naik ke Pareanom, dilanjutkan ke Ladrang Sri Katon, jatuh ke Ketawang Suksma Ilang, terus Ayak-ayakan Manyura, Srepegan, lalu menjadi Sampak. Ki Dalang segera masuk ke arena pergelaran, duduk sambil mengamat-amati segala perlengkapan demi keseksamaan dan kecermatannya. Ini melambangkan, bahwa setelah suami (simpingan wayang kanan), dan istri (simpingan wayang kiri) siap (gunungan yang tegak berdiri di tengah), dan ketika lintu-asmara telah mencapai puncaknya (dilambangkan dengan gending-gending patalon), masuklah Sang Hidup (Ki Dalang masuk ke arena pergelaran) ke gua garba istri. Ini merupakan tahap awal di mana Sang Hidup sedang mengalami proses peragaan di Alam Purba (Alam Kandungan). Untuk manjadi manusia yang utuh, Sang Hidup diberi raga sebagai wadah yaitu boneka wayangnya.
Tatkala gending-gending patalon telah berhenti, Ki Dalang kemudian memainkan cempalanya, tanda pergelaran dimulai dengan didahului mencabut gunungan yang tertancap di tengah. Lakon mulai dijalankan, dengan urut-urutan adegan pokok: 1) Jejer, 2) Sabrangan, 3) Perang Gagal, 4) Panditan, 5) Perang kembang dan 6) Tancep Kayon. Ini melambangkan, bahwa setelah Sang Hidup cukup waktunya menjalani proses peragaan, maka berpindahlah Sang Hidup mengambah ke Alam Madya (dunia nyata) dengan wujud sebagai seorang manusia yang baru saja dilahirkan. Sang Hidup mulai dilakonkan, dengan rangkaian urutan:
1. Lahir sebagai bayi hingga remaja ( jejer )
2. Mulai menghadapi tantangan (Sabrangan)
3. Akan tetapi karena belum ada kedewasaan dan kematangan, lalu gagal (Perang Gagal)
4. Kemudian sadar untuk mencapai ketahanan lahir-batin dengan cara berguru (panditan)
5. Setelah matang ditempa lahir-batin, baru mampu mangatasi gangguan, hambatan, tantangan, dan ancaman ( Perang Kembang )
6. Lalu baru meningkat ke tataran yang lebih tinggi, yaitu mampu mengalahkan musuh-musuh besar ataupun kecil (Perang Amuk-amukan /Perang Brubuh)
7. Setelah dipandang Tuhan Yang Maha Kuasa selesai merampungkan misi dan tugasnya, ia mati maninggalkan dunia nyata (Tancep Kayon ).
Setelah selesai menjalankan tugas pergelaran wayang kulit, Ki Dalang lalu pulang kembali kepada Yang Punya Gawe untuk mendapatkan penilaian. Jika dinilai baik, ia akan mendapatkan ganjaran besar, yang dengan itu dapat dipergunakan untuk meningkatkan kehidupannya yang lebih baik. Jika dinilai biasa-biasa saja, ia akan mendapatkan ganjaran yang biasa, yang tak dapat untuk mempromosikan kehidupannya. Jika dinilai tidak baik, bahwa Sang Hidup apabila baik dan benar dalam menjalankan misi dan tugasnya, akan meningkat dengan sendirinya di tataran yang lebih baik.
Dari proses pertunjukan wayang tersebut dapat dimaknai bahwa, antara wayang, dalang, dan penanggap merupakan suatu simbol dari manusia, roh, dan Tuhan Yang Maha Esa. Wayang adalah manusia, yang hanya dapat hidup apabila ada dalang sebagai roh, dan kehidupan ada karena diciptakan oleh sang penanggap yaitu Tuhan Yang Maha Esa. (*)
Antara Dalang, Wayang, dan Penanggap Sebuah Othak-Athik (2)
Hidupnya yang selalu menanjak ke atas, tambahnya ilmu akan menyempurnakan ibadahnya kepada Tuhan yaitu ibadah umum dan khusus. Ilmu dan ibadah harus dapat menjadi perbendaharaan milik manusia yang terus menerus meningkat, bagaimana saja, bilamana saja, dan di mana saja agar beruntung hidupnya.
Batang pisang atau gedebog yang menjadi tempat berpijaknya wayang-wayang itu melambangkan betapa sebenarnya kelemahan manusia hidup di dunia, karena diatas gedebog orang mudah tergelincir dan jatuh. Wayang dapat tegak di atas gedebog karena diberi “cempurit” (tangkai wayang dari tanduk) dan mendapat peranan dalam lakon pada saat itu. Manusia dapat hidup dengan tegak di dunia ini kalau mendapat DAYA HIDUP dan HIDAYAT (hayat dan hidayat) dari Allah SWT. Jadi hayat atau hidup dilambangkan dengan cempurit, sedang hidayat atau petunjuk dengan peranan yang diberikan kepada wayang dalam lakon. Orang hidup di dunia seperti orang sedang melewati “sirotol-mustaqim” atau “uwot ogal-agil” jembatan rambut dibelah seribu (sarambut pinara sasra). Apabila sesat maka habislah dia, karena jatuh dan nerakalah akhirnya yang menjadi tempat tampungannya. Hal ini sebenarnya ada dalam takdir Tuhan. Jembatan sirotol-mustaqim itu sebenarnya berada di antara “ya” dan “tidak”. Jarak antara “ya” dan “tidak”, kadang-kadang dekat sekali, kadang-kadang jauh sekali. Dalam keadaan sulit tidak mudah orang menentukan ya atau tidak.
Sebelum pergelaran wayang dimulai, ditengah-tengah kelir ditancapkan sebuah wayang gunungan yang sering disebut kayon. Kayon inipun dapat diothak-athik berasal dari bahasa arab yaitu “hayyun” yang artinya hidup. Kehidupan wayang akan segera dimulai apabila dalang telah membuka kayon tersebut dengan menarik keatas, diturunkan dan kemudian ditancapkan dipanggungan sebelah kanan. Dalam gunungan tergambar hutan yang berisi binatang-binatang, serta rumah yang dijaga oleh raksasa. Gunungan merupakan lambang untuk menggambarkan gunung, hutan dan binatang-binatang yang ada di dunia. Gunung sangat vital bagi kehidupan manusia. Adanya gunung-gunung dan hutan-hutan dapat menjauhkan dari bahaya banjir, sehingga memungkinkan menanam, panen, dengan hasil padi, palawija, buah-buahan dan sebagainya. Oleh karena itu gunung dan hutan harus dijaga tidak boleh ditebang sampai gundul. Karena gundulnya hutan akan mengakibatkan erosi tanah longsor dan juga menyebabkan banjir. Penghancuran gunung-gunung dan hutan-hutan berarti melenyapkan kehidupan. Dengan demikian tidaklah heran apabila gunung sangat dimuliakan di jawa, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Hal ini dapat dibuktikan bahwa setiap tahun kraton Yogyakarta selalu mengadakan arak-arakan selamatan tumpeng besar yang dinamakan juga gunungan di alun-alun utara. Selain gunungan berupa nasi, juga ada gunungan yang dari sayur-sayuran antara lain kacang panjang, lombok, telur dan sebagainya. Hal ini melambangkan bahwa untuk hidup harus ada makanan, sedangkan makanan manusia adalah hasil tanaman dan ternak, yang dapat hancur atau lenyap karena banjir. Oleh karena itu kraton Yogyakarta mengadakan gunungan mempunyai makna bahwa gunung harus dijaga sebaik-baiknya dalam keadaan damai maupun perang. Acara gunungan tersebut biasanya diadakan pada waktu bulan Maulud (dalam kalender Islam) yang disebut Grebeg Mulud untuk memperingati Maulid atau kelahiran Nabi Muhammad SAW. Grebeg Mulud ini sering disebut Sekaten.
Wayang gunungan tersebut kalau dibalik warnanya merah bergambar api. Dipandang dari segi kehidupan manusia warna merah tersebut melambangkan darah yang sangat vital bagi manusia. Dalam keadaan normal, apabila seorang manusia darahnya sehat, bersih, maka manusia itu tentu sehat lahir batinnya. Warna merah tersebut juga melambangkan nafsu, karena manusia tanpa nafsu, lemah dan lemas. Dipandang dari segi alam luas, warna merah dibagian belakang gunungan tersebut melambangkan api atau magma dalam bumi, yang akan tampak apabila meletus. Bumi itu hidup, karena apinya masih hidup dan usianya telah berjuta-juta tahun. Apabila api telah mati mungkin telah datang kiamat. Karena kiamat itu menurut Islam setelah isi perut bumi keluar.
Sebelum pergelaran wayang dimulai, dipendhapa masih kosong (suwung). Kemudian kelir dibentangkan dan wayang disimping atau dijajar disebelah kanan dan kiri panggungan. Simpingan kanan dan kiri merupakan simbol gambaran manusia yang baik dan buruk kelakuan sifat-sifatnya. Biasanya simpingan kanan adalah untuk para satria yang berwajah tampan, sedang simpingan kiri untuk tokoh-tokoh raksasa. Walaupun secara harfiah bahwa watak yang baik digambarkan dengan wayang kesatria atau alusan, dan watak yang jahat digambarkan dengan raksasa, tetapi tidak semuanya.
Kumbakarna, wayangnya berwujud raksasa yang besar, tetapi berwatak baik, “sandyan awarna diyu, suprandene nggayuh utami”. Sedangkan Dewa Srani, yang berwujud ksatria bagus rupanya, tetapi ternyata merupakan lambang adigang, adigung, adiguna. Sehingga hal ini memberikan ajaran bahwa kita tidak boleh menilai seseorang dari ujud profilnya, warna muka dan sebagainya.
Penanggap wayang, yaitu yang meminta bantuan dalang untuk mementaskan wayang tidak termasuk dalam peranan dan permainan wayang. Hal ini bermakna bahwa kebebasan berfikir manusia sangat terbatas, sehingga tidak dapat tahu apa yang terjadi sejam, sehari, seminggu, sebulan kemudian. Maka ikhtiar harus terus menerus dilakukan, karena manusia tidak dapat mengetahui nasibnya nanti. Oleh karena itu, dalam menghadapi kegagalan-kegagalan yang mungkjin terdapat sementara, orang tidak perlu berputus asa. Karena sebenarnya, sampai dimana perjalanan hidup itu, bagaimana nanti, seorangpun tidak ada yang dapat mengetahui.
Beberapa waktu sebelum pergelaran wayang kulit dimulai, Ki Dalang biasanya sudah diberi tahu oleh Yang Punya Gawe tentang lakon yang akan dipentaskan sekaligus diberi pengarahan tentang bagaimana membawakan lakon agar baik dan benar. Ini melambangkan, bahwa Sang Hidup (Ki Dalang) telah menerima janji dari Tuhan Yang Maha Esa (Yang Punya Gawe) agar nanti dalam menjalankan laku (lakon) harus sesuai dengan pengarahan/petunjuk/bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, yaitu melaksanakan sifat satu, sifat baik dan benar, sifatnya Tuhan. Setelah tiba saatnya, nampak di arena pergelaran telah siap kelir putih bersih yang terbentang rapi dan gunungan/kayon yang tegak berdiri diapit oleh simpingan wayang kanan dan kiri lengkap dengan segala macam ubarampe-nya
Antara Dalang, Wayang, dan Penanggap Sebuah Othak-Athik (1)
Wayang sebagai alat adalah benda mati. Berfungsi dan tidaknya tergantung dari sudut pandang masing-masing pengamat. Wayang dapat dikaji secara moral, etika, estetika dan bahkan dapat juga dipandang dari segi agama, baik Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Islam, serta Kejawen. Wayang, sebenarnya merupakan sebuah lambang atau simbol-simbol, yang dalam istilah Jawa disebut pasemon. Pasemon tersebut terdapat dalam jalinan kisah maupun tokoh-tokohnya, bahkan di seluruh eksistensinya. Istilah wayang mengandung makna wewayangan atau gambaran, yaitu wewayanganing ngaurip (gambaran kehidupan). Wayang dapat bergerak, berbicara, berbuat karena ada dalang yang melakukannya. Oleh karena itu wayang tersebut hanya sak derma hanglakoni apa yang dilakukan dalang terhadapnya. Raden Gathutkaca bisa terbang, karena diterbangkan dalang, Raden Bratasena dapat melompat dan selalu menang dalam setiap peperangan karena dijalankan dalang, buta Cakil selalu kalah dan mati dalam setiap perang kembang dengan seorang satria, karena dalanglah yang berbuat demikian. Sesungguhnya apabila seorang dalang menghendaki Gathutkaca tidak dapat terbang, Bratasena kalah perang, Cakil menang melawan satria adalah sesuatu yang mudah. Hal ini dapat diartikan bahwa, manusia hidup di dunia ternyata hanyalah seperti wayang yang dijalankan oleh sang Maha Dalang yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kejadian apapun yang menjadi kehendak Tuhan pastilah akan terjadi. Akan tetapi perbedaannya bahwa manusia bukanlah wayang. Manusia dikaruniai akal, pikiran, dan perasaan serta diberi kebebasan oleh Tuhan untuk berbuat sesuatu. Sedangkan wayang, segala perbuatannya adalah perbuatan dari dalang. Dalam kehidupan manusia, Tuhan hanyalah memberi petunjuk bahwa perbuatan yang baik akan mendapat kebaikan atau surga, dan perbuatan jelek akan mendapatkan kejelekan atau neraka.
Wayang merupakan gambaran kehidupan manusia di dunia, maksudnya bahwa setiap cerita yang baik dan yang buruk, tokoh yang jahat maupun yang berbudi luhur, dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga apa yang ada dan terjadi di dunia wayang dapat dijadikan cermin kehidupan manusia. Ada manusia yang bersifat seperti Pandawa ada yang seperti Kurawa, ada yang seperti Prabu Rama dan ada pula yang seperti Prabu Dasamuka. Hal ini karena sifat manusia memang beragam.
Dalang dapat diartikan ngudhal piwulang. Ngudhal berarti menguraikan dan piwulang adalah nasehat atau pelajaran. Dalang dapat diothak athik (direka kira) berasal dari bahasa arab yaitu “Dallan” yang berarti menunjukkan. Mungkin berasal dari kata dah + hyang = Hyang atau pemimpin yang berpindah, dan dapat juga berasal dari kata Dah + Lang (pitedah dan Piwulang) = orang yang memberi pitedah (nasehat) dan piwulang (pelajaran). Sehingga dalang adalah seseorang yang menguraikan nasehat atau pelajaran melalui media wayang. Walaupun dalang berkuasa atas semua kejadian di dunia wayang, tetapi seorang dalang tidak boleh seenaknya memainkan wayang. Hal ini disebabkan karena ia dibatasi oleh lakon atau cerita dan juga dibatasi oleh karakter tokoh-tokoh wayang itu sendiri. Apabila seorang dalang dalam pertunjukannya tidak menghiraukan batasan-batasan tersebut maka akan dianggap dalang yang kurang baik. Sedangkan Wayang = wasiat nenek moyang, atau wayang = watak bayangan, yaitu bayangan kehidupan manusia di dunia.
Wayang mempunyai bentuk-bentuk, nama-nama, dan kejadian-kejadian yang aneh-aneh jauh dari pemikiran biasa. Bentuk seperti: kethek (monyet), raksasa, bentuk seluruh wayang, sifat wayang yang kawin berkali-kali dengan gadis, seorang istri bersuamikan lima orang pria, kuku pancanaka, rujakpala, Dewaruci, semua itu aneh bagi yang memikirkan dan bagi yang menyusun dahulu tentunya tidak tanpa arti. Nama-nama, istilah-istilah, dan kejadian-kejadian yang tidak lazim, tentu mengandung makna yang harus dicari, maka perlu dirasakan dan dipikir arti dan maknanya sebagai gambaran kehidupan.
Gambaran kehidupan manusia tersebut diuraikan atau dipentaskan di kelir, yang dapat diartikan Kelir = pratikel + lahir yaitu pratikel sing kelahir. Pratikel atau saran-saran atau petunjuk yang dilahirkan (diucapkan). Saran-saran tersebut dilahirkan melalui pementasannya. Sehingga kelir juga dapat diartikan dunia ini, sebagai tempat hidup manusia. Pretikel atau saran-saran tersebut disampaikan dalang melalui jalannya cerita di pakeliran. Adanya wayang, iringan gamelan, sulukan, janturan, pocapan dialog dan tembang, merupakan sarana dalang untuk menyampaikan saran atau pretikelnya untuk kedamaian dunia.
Selain kelir, dalam pementasannya dalang harus menggunakan lampu penerangan yang disebut blencong. Blencong dapat diothak-athik dari kata bel + lin + cong = menyala bel + salin + cong-congan, artinya setelah memulai, hendaklah tidak berganti (salin) tujuan. Dapat juga berasal dari kata: Bel + encong = disumet “bel” nanging aja nganti mencong = dinyalakan bel tetapi jangan sampai salah arahnya mulai memberi penerangan menurut dakwah agama yang benar dan jangan diberi arah yang salah; blencong yang menyala terang di atas kelir; melambangkan matahari yang pagi-pagi merah tampaknya seperti blencong, timbulah siang dan malam, hujan dan kering, panas dan dingin, air dan awan, kehidupan dan keasyikan manusia di bumi yang seluruhnya merupakan sumber ilmu bagi manusia di dunia. Dengan adanya seluruh kehidupan manusia, binatang- binatang, pohon-pohon bersama benda-benda dalam alam yang luas ini sebagai makrokosmos (alam besar), Tuhan mengeluarkan seluruh ilmu di muka manusia sebagai mikrokosmos (alam kecil). Manusia diperintahkan untuk membaca “buku” yang maha besar itu termasuk dirinya sendiri agar dapat menyelami ilmu yang dimiliki Tuhan sejauh yang dikehendaki-Nya. Usaha menambah ilmu harus terus, karena masih banyak sekali yang belum diketahui. Itulah yang dilambangkan pergelaran di kelir. Tanpa blencong itu tak akan tampak kejadian-kejadian di kelir, atau tanpa matahari, maka akan lenyaplah ilmu. Selama manusia (orang) masih hidup, kuat, sehat, dan dapat melihat, selama itu pula ia harus mencari ilmu, tanpa memperhitungkan seberapa ilmu yang luas itu yang diberikan kepadanya.
Tiap-tiap kekosongan mungkin dapat diisinya dengan mencari dan menambah ilmu, sehingga seluruhnya kehidupan selalu beruntung dengan tambahan ilmu yang bermanfaat untuk hidupnya sendiri. Ia tidak termasuk orang merugi dalam kehidupan.
Pengantar J-Forum Edisi 2: Belajar Dari Seminar
J-forum kembali hadir dan semoga selalu bisa hadir, kali ini dengan tema “Belajar dari Seminar”. Seperti diketahui, seminar biasanya merupakan satu mata pelajaran pokok di perguruan tinggi. Dalam proses pembelajarannya, mahasiswa diberi tugas untuk membuat makalah dengan format tertentu dan mempresentasikannya di depan kelas yang ditata seolah seminar sedang berlangsung. Memang betul, tata kerja seminar dilakukan, ada moderator, sesi presentasi, dan sesi tanya jawab. Kemudian setelahnya dosen (pengajar) memberikan evaluasi pelaksanaan seminar (seolah-olah) tersebut.
Pengalaman berada dalam kelas seminar ini tentunya membawa kesan tersendiri, baik bagi presenter maupun peserta. Tidak jarang mereka saling ganti serang dengan pertanyaan yang dimaksudkan untuk menyulitkan penyaji sehingga suasana menghangat dan menyeret semua dalam arus debat. Akan tetapi tidak jarang juga terjadi kompromi sehingga masing-masing tidak menanyakan hal-hal yang sulit atau memojokkan, dan seminar pun berjalan melenggang tetapi kering.
Dalam nomor ini, J-forum menampilkan makalah-makalah yang pernah disajikan dalam mata kuliah seminar. Bukan kesempurnaan atau kelihaian bahasan dan kajian makalah yang akan dihadirkan di sini. Akan tetapi lebih pada semangat belajar si pembuat makalah demi memenuhi tugas yang diembankan kepadanya. Tentu saja banyak yang harus dipelajari oleh si pembuat makalah, apakah itu format, tata bahasa, tata tulis atau pokok bahasannya. Nah, karena si pembuat makalah ini perlu mempelajari sesuatu selama proses menulis maka, tidak ada salahnya apa yang telah mereka pelajari kita simak bersama-sama.
Terdapat tiga makalah di sini yang semuanya dieditori oleh Heru Subagiyo. Pertama, tulisan Purwadi yang dibuat sekitar tahun 2008 selama menempuh studi pasca sarjana di UNY yang membahas tentang dalang, wayang, dan penanggapnya. Berikutnya tulisan Kartiman yang dibuat tahun 2004 selama menempuh studi pasca sarjana di ISI Yogyakarta yang membahas fungsi seni karawitan dalam masyarakat Jawa. Terakhir adalah makalah jadul (dimuat di sini karena tidak ada penulis lain yang mau mengirim makalah) yang ditulis Eko Santosa pada tahun 1995 sewaktu belajar di ISI Yogyakarta (S-1) mengenai sufisme dalam lakon Dewa Ruci. Semoga ada sesuatu yang bisa dipelajari dari masing-masing tulisan yang dibuat oleh orang yang sedang belajar. Selamat membaca.
Salam,
Eko ‘Ompong’ Santosa