Antara Dalang, Wayang, dan Penanggap Sebuah Othak-Athik (3)

|
Oleh: Purwadi

Dan ketika mulai terdengar gending-gending patalon yang umumnya terdiri dari : Cucurbawuk, naik ke Pareanom, dilanjutkan ke Ladrang Sri Katon, jatuh ke Ketawang Suksma Ilang, terus Ayak-ayakan Manyura, Srepegan, lalu menjadi Sampak. Ki Dalang segera masuk ke arena pergelaran, duduk sambil mengamat-amati segala perlengkapan demi keseksamaan dan kecermatannya. Ini melambangkan, bahwa setelah suami (simpingan wayang kanan), dan istri (simpingan wayang kiri) siap (gunungan yang tegak berdiri di tengah), dan ketika lintu-asmara telah mencapai puncaknya (dilambangkan dengan gending-gending patalon), masuklah Sang Hidup (Ki Dalang masuk ke arena pergelaran) ke gua garba istri. Ini merupakan tahap awal di mana Sang Hidup sedang mengalami proses peragaan di Alam Purba (Alam Kandungan). Untuk manjadi manusia yang utuh, Sang Hidup diberi raga sebagai wadah yaitu boneka wayangnya.

Tatkala gending-gending patalon telah berhenti, Ki Dalang kemudian memainkan cempalanya, tanda pergelaran dimulai dengan didahului mencabut gunungan yang tertancap di tengah. Lakon mulai dijalankan, dengan urut-urutan adegan pokok: 1) Jejer, 2) Sabrangan, 3) Perang Gagal, 4) Panditan, 5) Perang kembang dan 6) Tancep Kayon. Ini melambangkan, bahwa setelah Sang Hidup cukup waktunya menjalani proses peragaan, maka berpindahlah Sang Hidup mengambah ke Alam Madya (dunia nyata) dengan wujud sebagai seorang manusia yang baru saja dilahirkan. Sang Hidup mulai dilakonkan, dengan rangkaian urutan:
1. Lahir sebagai bayi hingga remaja ( jejer )
2. Mulai menghadapi tantangan (Sabrangan)
3. Akan tetapi karena belum ada kedewasaan dan kematangan, lalu gagal (Perang Gagal)
4. Kemudian sadar untuk mencapai ketahanan lahir-batin dengan cara berguru (panditan)
5. Setelah matang ditempa lahir-batin, baru mampu mangatasi gangguan, hambatan, tantangan, dan ancaman ( Perang Kembang )
6. Lalu baru meningkat ke tataran yang lebih tinggi, yaitu mampu mengalahkan musuh-musuh besar ataupun kecil (Perang Amuk-amukan /Perang Brubuh)
7. Setelah dipandang Tuhan Yang Maha Kuasa selesai merampungkan misi dan tugasnya, ia mati maninggalkan dunia nyata (Tancep Kayon ).

Setelah selesai menjalankan tugas pergelaran wayang kulit, Ki Dalang lalu pulang kembali kepada Yang Punya Gawe untuk mendapatkan penilaian. Jika dinilai baik, ia akan mendapatkan ganjaran besar, yang dengan itu dapat dipergunakan untuk meningkatkan kehidupannya yang lebih baik. Jika dinilai biasa-biasa saja, ia akan mendapatkan ganjaran yang biasa, yang tak dapat untuk mempromosikan kehidupannya. Jika dinilai tidak baik, bahwa Sang Hidup apabila baik dan benar dalam menjalankan misi dan tugasnya, akan meningkat dengan sendirinya di tataran yang lebih baik.

Dari proses pertunjukan wayang tersebut dapat dimaknai bahwa, antara wayang, dalang, dan penanggap merupakan suatu simbol dari manusia, roh, dan Tuhan Yang Maha Esa. Wayang adalah manusia, yang hanya dapat hidup apabila ada dalang sebagai roh, dan kehidupan ada karena diciptakan oleh sang penanggap yaitu Tuhan Yang Maha Esa. (*)

0 komentar:

Posting Komentar