Sufisme Dalam Lakon “Dewa Ruci” (3)

|
Oleh: Eko Santosa

4.2. Asal-usul Manusia
Manusia tercipta dari bersatunya trimurti dan hawa. Trimurti adalah cahaya matahari, bulan, dan bintang. Sedangkan hawa adalah inti sari bumi yaitu; api, tanah, air, dan angin. Setelah segala unsur trimurti dan hawa ini bersatu menghasilkan apa yang disebut tirta nirmaya (air suci). Air suci ini kemudian mendapat ruh dari Tuhan hingga akhirnya menjadi wujud manusia. Jadi, dapat dikatakan bahwa kekuasaan Tuhan adalah mutlak dalam menentukan terciptanya manusia.

4.3. Ilmu Sejati dan Prinsip Sejati
Untuk mendapatkan ilmu sejati seseorang harus senantiasa menyembah dan meluhurkan nama Tuhan. Meluhurkan nama Tuhan dengan menyebut nama-Nya dalam setiap tarikan dan hembusan nafas. Di samping itu seseorang harus dapat mencegah hawa nafsu, tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan melakukan segala hal dengan tulus ikhlas serta penuh kesabaran.

Pelaksanaan ilmu sejati tersebut berpatok pada prinsip-prinsip kesejatian. Untuk memahami makna prinsip sejati ini hanya bisa ditemukan dengan jalan menjauhkan dirinya dari rasa cemburu dan iri, selalu sabar dan menerima segala hal yang terjadi, selalu mengharap kasih Tuhan, suka berbuat kebajikan, suka menolong orang yang berada dalam kesusahan, teliti dalam segala hal serta harus senantiasa menjaga kesadaran dan selalu mawas diri.

4.4. Makrokosmos dan Mikrokosmos
Sebelum masuk ke dalam rahim Dewa Ruci, Werkudara merasa ragu. Apakah ia yang bertubuh besar itu bisa masuk ke dalam rahim Dewa Ruci melalui lubang telinga sementara ukuran tubuh Dewa Ruci sendiri sangatlah kecil? Pertanyaan ini dijawab oleh Dewa Ruci bahwa Werkudara melihat kecil karena tidak menggunakan pramana jati (mata batin/kalbu). Tersentak Werkudara karena setelah melihat dengan menggunakan mata batinnya ia dapat menyaksikan jagad raya melalui telinga Dewa Ruci.

Werkudara kemudian memasuki jagat (rahim) Dewa Ruci. Selanjutnya Dewa Ruci menjelaskan bahwa sesungguhnya alam semesta atau jagat raya (makrokosmos) itu isinya tidak jauh berbeda dengan apa yang ada dalam rahim Dewa Ruci (mikrokosmos). Segala apa yang terjadi di jagat raya dapat diketahui dari rahim Dewa Ruci. Sesunguhnya jagat raya itu tidak berubah dari dulu hingga sekarang sama dengan apa yang nampak dalam jagat Dewa Ruci tidak berubah dari dulu hingga sekarang. Keteraturan mikrokosmos mengambarkan keteraturan makrokosmos demikian juga sebaliknya.

4.5. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Setelah mendapat pelajaran dari Dewa Ruci, Werkudara merasa tenteram dan damai sehingga ia tidak mau lagi kembali ke Amarta. Dewa Ruci mengingatkan bahwa Werkudara adalah bagian dari masyarakatnya karena ia tumbuh dan berkembang dalam satu lingkungan masyarakat (keluarga). Manusia tidak bisa hidup sendirian. Manusia membutuhkan dan memberikan bantuan kepada manusia lain. Masih banyak tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul dalam meyelenggarakan hidup baik bagi keluarga, negara atau dirinya sendiri. Dewa Ruci tidak membenarkan keinginan Werkudara untuk menikmati dunianya sendiri. Manusia adalah makhluk sosial. Ia adalah bagian dari masyarakatnya.


5. Penutup

Sufisme masuk ke Indonesai bersamaan dengan masuknya agama Islam. Perkembangan Islam di Indonesia membawa pengaruh yang kuat bagi perkembangan kesenian. Di Jawa, perkembangan kesenian yang bernafaskan Islam ini dimulai dari berdirinya kerajaan Demak. Kesenian Wayang Beber warisan budaya Hindu-Budha diangkut ke Demak untuk kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam oleh para Wali. Keterlibatan para Wali tidak hanya sekedar mengubah bentuk perwujudan wayang akan tetapi juga menciptakan silsilah dalam lakon wayang yang membawa misi ke-Islaman. Sebagai media dakwah, kesenian wayang sangatlah efektif. Misi-misi keagamaan yang hendak disampaikan mudah diterima oleh masyarakat.

Dewa Ruci adalah salah satu lakon yang berisikan tentang ajaran Islam (tasawuf). Dari lakon tersebut dapat diketahui pandangan-pandangan Islam yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Dewa tidak lagi memiliki otoritas tertinggi karena ia masih dapat berbuat kesalahan dan menerima hukuman sebagai imbalannya (Dewa Indra dan Bayu) bahkan dapat dibebaskan dari hukuman oleh seorang manusia (Werkudara). Tataran keimanan seseorang tidak tergantung pada jabatan atau kekuasaan akan tetapi terletak dalam kesungguhan dan keikhlasan ketika berbuat dan menghayati perbuatan sebagai bagian dari ibadah suci. Werkudara sebagai wakil manusia biasa mampu membuktikan bahwa ia sanggup mendapatkan pencerahan dalam petualangan spiritual melalui dirinya sendiri. Dengan niat ikhlas ia dapat menemukan apa yang ia cari, kawruh sangkan paraning dumadi atau banyu perwita suci.

--@--


Bacaan:
Dr. Hazim Amir, MA., Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
Dr. Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995.
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Jos Janssen, Ben Arps, Walter Slosse, Wayang Op De Radio, De Wandelende Tak, VPRO, Amsterdam, 1987.
Kamajaya, Sudibyo Z. Hadisutjipto, Serat Sastramiruda, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1981.

0 komentar:

Posting Komentar