Antara Dalang, Wayang, dan Penanggap Sebuah Othak-Athik (2)

|
Oleh: Purwadi

Hidupnya yang selalu menanjak ke atas, tambahnya ilmu akan menyempurnakan ibadahnya kepada Tuhan yaitu ibadah umum dan khusus. Ilmu dan ibadah harus dapat menjadi perbendaharaan milik manusia yang terus menerus meningkat, bagaimana saja, bilamana saja, dan di mana saja agar beruntung hidupnya.

Batang pisang atau gedebog yang menjadi tempat berpijaknya wayang-wayang itu melambangkan betapa sebenarnya kelemahan manusia hidup di dunia, karena diatas gedebog orang mudah tergelincir dan jatuh. Wayang dapat tegak di atas gedebog karena diberi “cempurit” (tangkai wayang dari tanduk) dan mendapat peranan dalam lakon pada saat itu. Manusia dapat hidup dengan tegak di dunia ini kalau mendapat DAYA HIDUP dan HIDAYAT (hayat dan hidayat) dari Allah SWT. Jadi hayat atau hidup dilambangkan dengan cempurit, sedang hidayat atau petunjuk dengan peranan yang diberikan kepada wayang dalam lakon. Orang hidup di dunia seperti orang sedang melewati “sirotol-mustaqim” atau “uwot ogal-agil” jembatan rambut dibelah seribu (sarambut pinara sasra). Apabila sesat maka habislah dia, karena jatuh dan nerakalah akhirnya yang menjadi tempat tampungannya. Hal ini sebenarnya ada dalam takdir Tuhan. Jembatan sirotol-mustaqim itu sebenarnya berada di antara “ya” dan “tidak”. Jarak antara “ya” dan “tidak”, kadang-kadang dekat sekali, kadang-kadang jauh sekali. Dalam keadaan sulit tidak mudah orang menentukan ya atau tidak.

Sebelum pergelaran wayang dimulai, ditengah-tengah kelir ditancapkan sebuah wayang gunungan yang sering disebut kayon. Kayon inipun dapat diothak-athik berasal dari bahasa arab yaitu “hayyun” yang artinya hidup. Kehidupan wayang akan segera dimulai apabila dalang telah membuka kayon tersebut dengan menarik keatas, diturunkan dan kemudian ditancapkan dipanggungan sebelah kanan. Dalam gunungan tergambar hutan yang berisi binatang-binatang, serta rumah yang dijaga oleh raksasa. Gunungan merupakan lambang untuk menggambarkan gunung, hutan dan binatang-binatang yang ada di dunia. Gunung sangat vital bagi kehidupan manusia. Adanya gunung-gunung dan hutan-hutan dapat menjauhkan dari bahaya banjir, sehingga memungkinkan menanam, panen, dengan hasil padi, palawija, buah-buahan dan sebagainya. Oleh karena itu gunung dan hutan harus dijaga tidak boleh ditebang sampai gundul. Karena gundulnya hutan akan mengakibatkan erosi tanah longsor dan juga menyebabkan banjir. Penghancuran gunung-gunung dan hutan-hutan berarti melenyapkan kehidupan. Dengan demikian tidaklah heran apabila gunung sangat dimuliakan di jawa, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Hal ini dapat dibuktikan bahwa setiap tahun kraton Yogyakarta selalu mengadakan arak-arakan selamatan tumpeng besar yang dinamakan juga gunungan di alun-alun utara. Selain gunungan berupa nasi, juga ada gunungan yang dari sayur-sayuran antara lain kacang panjang, lombok, telur dan sebagainya. Hal ini melambangkan bahwa untuk hidup harus ada makanan, sedangkan makanan manusia adalah hasil tanaman dan ternak, yang dapat hancur atau lenyap karena banjir. Oleh karena itu kraton Yogyakarta mengadakan gunungan mempunyai makna bahwa gunung harus dijaga sebaik-baiknya dalam keadaan damai maupun perang. Acara gunungan tersebut biasanya diadakan pada waktu bulan Maulud (dalam kalender Islam) yang disebut Grebeg Mulud untuk memperingati Maulid atau kelahiran Nabi Muhammad SAW. Grebeg Mulud ini sering disebut Sekaten.

Wayang gunungan tersebut kalau dibalik warnanya merah bergambar api. Dipandang dari segi kehidupan manusia warna merah tersebut melambangkan darah yang sangat vital bagi manusia. Dalam keadaan normal, apabila seorang manusia darahnya sehat, bersih, maka manusia itu tentu sehat lahir batinnya. Warna merah tersebut juga melambangkan nafsu, karena manusia tanpa nafsu, lemah dan lemas. Dipandang dari segi alam luas, warna merah dibagian belakang gunungan tersebut melambangkan api atau magma dalam bumi, yang akan tampak apabila meletus. Bumi itu hidup, karena apinya masih hidup dan usianya telah berjuta-juta tahun. Apabila api telah mati mungkin telah datang kiamat. Karena kiamat itu menurut Islam setelah isi perut bumi keluar.

Sebelum pergelaran wayang dimulai, dipendhapa masih kosong (suwung). Kemudian kelir dibentangkan dan wayang disimping atau dijajar disebelah kanan dan kiri panggungan. Simpingan kanan dan kiri merupakan simbol gambaran manusia yang baik dan buruk kelakuan sifat-sifatnya. Biasanya simpingan kanan adalah untuk para satria yang berwajah tampan, sedang simpingan kiri untuk tokoh-tokoh raksasa. Walaupun secara harfiah bahwa watak yang baik digambarkan dengan wayang kesatria atau alusan, dan watak yang jahat digambarkan dengan raksasa, tetapi tidak semuanya.

Kumbakarna, wayangnya berwujud raksasa yang besar, tetapi berwatak baik, “sandyan awarna diyu, suprandene nggayuh utami”. Sedangkan Dewa Srani, yang berwujud ksatria bagus rupanya, tetapi ternyata merupakan lambang adigang, adigung, adiguna. Sehingga hal ini memberikan ajaran bahwa kita tidak boleh menilai seseorang dari ujud profilnya, warna muka dan sebagainya.

Penanggap wayang, yaitu yang meminta bantuan dalang untuk mementaskan wayang tidak termasuk dalam peranan dan permainan wayang. Hal ini bermakna bahwa kebebasan berfikir manusia sangat terbatas, sehingga tidak dapat tahu apa yang terjadi sejam, sehari, seminggu, sebulan kemudian. Maka ikhtiar harus terus menerus dilakukan, karena manusia tidak dapat mengetahui nasibnya nanti. Oleh karena itu, dalam menghadapi kegagalan-kegagalan yang mungkjin terdapat sementara, orang tidak perlu berputus asa. Karena sebenarnya, sampai dimana perjalanan hidup itu, bagaimana nanti, seorangpun tidak ada yang dapat mengetahui.

Beberapa waktu sebelum pergelaran wayang kulit dimulai, Ki Dalang biasanya sudah diberi tahu oleh Yang Punya Gawe tentang lakon yang akan dipentaskan sekaligus diberi pengarahan tentang bagaimana membawakan lakon agar baik dan benar. Ini melambangkan, bahwa Sang Hidup (Ki Dalang) telah menerima janji dari Tuhan Yang Maha Esa (Yang Punya Gawe) agar nanti dalam menjalankan laku (lakon) harus sesuai dengan pengarahan/petunjuk/bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, yaitu melaksanakan sifat satu, sifat baik dan benar, sifatnya Tuhan. Setelah tiba saatnya, nampak di arena pergelaran telah siap kelir putih bersih yang terbentang rapi dan gunungan/kayon yang tegak berdiri diapit oleh simpingan wayang kanan dan kiri lengkap dengan segala macam ubarampe-nya

0 komentar:

Posting Komentar