Oleh: Kartiman
Seni Karawitan dan Masyarakat
Seni dan masyarakat ibarat simbiosis mutualisme, keduanya saling ketergantungan, membutuhkan. Perubahan di satu sisi akan berpengaruh terhadap sisi lainnya. Demikian juga yang berlaku pada seni karawitan. Perkembangannya sangat tergantung pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Sehingga saat ini munculah berbagai macam bentuk pertunjukan dengan latar belakang seni karawitan, seperti campursari, kolaborasi musik diatonis dan pentatonis, karawitan modern, maupun kontemporer.
Dewasa ini sebagaian besar masyarakat menganut konsep hidup “ praktis dan ekonomis “. Salah satu akibatnya adalah kemasan suatu bentuk seni harus beorientasi pada konsep hidup tersebut. Dalam seni karawitan tradisi, perubahan yang terjadi ditandai dengan semakin banyaknya gending-gending srambahan yang disajikan dalam suatu hajatan.
Dahulu orang akan dengan santainya mendengarkan gending-gending klasik yang berdurasi lama, disertai dengan minum kopi, merokok, ngobrol kesana kemari sampai menjelang pagi, dan ini seakan bagian dari hidupnya. Fenomena seperti itu sekarang sudah jarang ditemui. Kecenderungannya baik yang punya hajat maupun tamu undangan hanya menyesuaikan dengan kebutuhan acara saat itu. Perubahan yang demikian menjadikan keberadaan seni karawitan dianggap kurang mewadahi kebutuhan masyarakat pendukungnya, kurang komunikatif, dan atau istilah lain yang intinya seni karawitan sudah kurang sesuai dengan kondisi jaman sekarang.
Pendapat yang demikian masih memerlukan pembuktian secara ilmiah, karena sebagai salah satu bagian dari produk budaya, seni karawitan mempunyai hak untuk dikomunikasikan kepada masyarakat. Adapun syarat untuk dikomukasikan antara lain harus nampak baik secara audio maupun visual. Jelas dengan syarat tersebut seni karawitan dapat memenuhi kriteria sebagai produk budaya yang dapat berkomunikasi kepada masyarakat. Secara visual dapat dilihat bahwa karawitan dimainkan dengan menggunakan seperangkat alat yang disebut gamelan, yang masing-masing instrumennya mempunyai tugas dan kewajibannya sendiri-sendiri, sedangkan secara audio dapat dirasakan melalui suara merdu gamelan mengalunkan gending-gending dengan karakter yang berbeda, dapat menggambarkan serta mempengaruhi jiwa maupun perasaan seseorang, bahkan dalam lingkup yang lebih besar yaitu masyarakat.
III. Penutup
Berdasarkan paparan di muka, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa fungsi seni karawitan dalam kehidupan masyarakat sangat dominan. Seni karawitan dapat berfungsi sebagai sarana upacara, hiburan, yang bersifat sederhana, maupun rumit, antara seni karawitan dengan masyarakat ibarat sekeping uang logam, karawitan selalu ada di dalam jiwa manusia, karena dalam menjalani kehidupannya manusia selalu berirama.
Fungsi seni karawitan yang sangat menonjol adalah sebagai sarana komunikasi. Suatu bentuk seni yang berbobot harus mampu menyampaikan atau berkomunikasi dengan baik. Maksud atau makna dari suatu karya seni tidak akan sampai ke dalam hati sang pengamat apabila komunikasinya kurang efektif, hubungan antara karya dan yang menyaksikannya tidak mantap (Djelantik, 2004:56). Dalam hal ini, seni karawitan dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang efektif, baik secara vertikal maupun horisontal.
Secara vertikal kemampuan seni karawitan dalam berkomunikasi terwadahi dalam bentuk gending sebagai kumpulan nada-nada yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa enak apabila didengarkan. Gending dalam seni karawitan mempunyai karakter yang berbeda, ada yang berkarakter gembira, sedih, prenes, dan lain sebagainya. Bahkan ada beberapa gending yang dianggap keramat, dan diyakini mempunyai kekuatan tertentu. Untuk membunyikannya memerlukan sesaji khusus. Kekuatan gending tersebut dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta.
Dalam konteks yang lain Judith Baker menginterpretasikan bahwa melodi musik jawa (gamelan) mempunyai kaitan erat dengan sistem kepercayaan asta-wara, yaitu siklus kalender bulan dan sistem pengetahuan Jawa. Siklus ketukan gong dapat dibagi menjadi setengah kenong, seperempat kempul, seperdelapan kethuk, seperenambelas saron, dan sepertigapuluh bonang barung (Fananie, 2000: 134).
Secara horisontal, komunikasi pada seni karawitan tercermin dari hasil sajian yang merupakan hasil kerjasama antar unsur yang ada pada seni karawitan, bersifat kolektif, saling mendukung untuk memberi tempat berekspresi sesuai dengan hak dan kewajibannya.. Hal ini sesuai dengan pola hidup masyarakat Jawa yang sebagian besar menganut asas gotong-royong, lebih mengutamakan kebersamaan.
Untuk mendapatkan sajian yang baik, para pemain (pengrawit) saling berhubungan, berkomunikasi satu dengan lainnya. Komunikasi disini tidak secara jelas, tetapi terwujud dalam permainan instrumen sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Disamping itu, banyak terdapat cakepan dalam tembang, baik itu disajikan dengan bentuk gerong, sindhenan, bowo, atau lainnya, yang semuanya memuat ajaran luhur untuk berbuat kebaikan, meskipun banyak yang berupa sanepa, simbol.
Simbol-simbol yang ada dalam seni karawitan dapat dikatakan menyerupai filosofi manusia, maupun pola hidup manusia. Diantaranya, penyebutan nada-nada instrumen dalam laras slendro, 1 (Barang), 2 (Gulu/Jangga), 3 (Dhadha), 5 (Lima), 6 (Nem), dan 1 (Barang alit). Nama-nama tersebut penggambaran atau ditafsirkan sebagai bagian organ tubuh manusia. Selain itu dari nada-nada laras slendro (1,2,3,5,6) apabila kita jumlah menjadi 17. Jumlah tersebut sesuai dengan kewajiban hidup masyarakat penganut agama Islam, yaitu menjalankan sholat wajib sehari semalam 17 rakaat. Misteri angka 17 dalam laras slendro dapat pula dihubungkan dengan peristiwa besar yang terjadi di Indonesia, yaitu terbebasnya negara Indonesia dari penjajah atau merdeka yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa komunikasi tidak hanya menggunakan sesuatu yang berwujud nyata, jelas artinya, tetapi dapat juga dengan bahasa simbol. Komunikasi dapat sebagai aktivitas simbolis, karena aktivitas komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol bermakna yang diubah ke dalam kata-kata (verbal) untuk ditulis dan diucapkan, atau simbol ‘bukan kata-kata verbal’ untuk ‘diperagakan’ (Liliweri, 2003: 5).
(*)
Daftar Pustaka
A.A.M., Djelantik, Estetika Sebuah Pengantar, Bandung: MSPI Bekerjasama dengan Arti, Cetakan ketiga 2004.
Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, LKiS Yogyakarta. 2003.
Bram Palgunadi, Serat Kandha Karawitan Jawi, Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2002.
Djojokoesoemo, G.P.H., Kesenian Selayang Pandang, Surakarta: Udan Mas, t.t.
Driyarkara, Driyarkara Tentang Kebudayaan, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1980.
Mantle Hood, Javanese Gamelan in the World of Music, terj. Hardjo Susilo, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1958.
Martopangrawit, “Pengetahuan karawitan I”, Surakarta: ASKI Surakarta, 1975.
S. Prawiroatmojo, Bausastra Jawa-Indonesia, Jakarta: P.T. Gunung Agung, 1985.
Sindusawarna, Ki., “Karawitan Jilid I” Surakarta: t.p., t.t.
Soedarso, Sp., Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Yogyakarta: Akademi Seni Rupa Indonesia, 1976.
Soemodiningrat, K.R.M.T.H., Serat Karawitan, Sragen: Holah Karawitan, 1936.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, Edisi Baru Keempat, 1990.
Soeroso, Menuju ke garapan Komposisi karawitan, Yogyakarta: AMI Yogyakarta, 1975.
Soeroso, “Pengetahuan Karawitan” Laporan Pelaksanaan Penulisan Buku/Diktat Perkuliahan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta: Proyek Peningkatan Pengembangan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1985/1986.
Suhastjarja, R.M.A.P., et. al., “Analisa Bentuk Karawitan”, Yogyakarta: Proyek Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta, 1984/1985.
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Waridi, “Gending Dalam Pandangan Orang Jawa: Makna, Fungsi Sosial, dan Hubungan Seni”, dalam Kembang Setaman Persembahan Untuk Sang Maha Guru, A.M. Hermin Kusmayati (ed.), Yogyakarta: BP ISI, 2003.
Zainuddin Fananie, Restrukturisasi Budaya Jawa: Perspektif KGPAA MN I, Surakarta: Muhammadiyah University, 2000.
****
Menyikat lantai dan membersihkan pispot sama mulianya dengan pekerjaan presiden (Richard M. Nixon)
Pikiran jahat menunjukkan bahwa kita sakit, jadi kita harus menghindarinya (Gandhi)
Sungguh baik untuk memiliki uang dan hal-hal yang bisa dibeli dengan uang, tetapi sungguh baik pula untuk sekali-kali memeriksa dan meyakinkan diri kita, bahwa kita tidak kehilangan hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang (George Horace Lorimer)
Kebohongan bukan cuma berlawanan dengan kebenaran, tetapi juga sering saling bertentangan di antara mereka sendiri (Daniel Webster)
Orang yang mengakui ketidaktahuannya cuma orang yang menunjukkan ketidaktahuannya sekali; orang yang mencoba menutup-nutupi ketidaktahuannya menunjukkannya berulang-ulang (Peribahasa Jepang)
0 komentar:
Posting Komentar