Antara Dalang, Wayang, dan Penanggap Sebuah Othak-Athik (1)

|
Oleh: Purwadi

Wayang sebagai alat adalah benda mati. Berfungsi dan tidaknya tergantung dari sudut pandang masing-masing pengamat. Wayang dapat dikaji secara moral, etika, estetika dan bahkan dapat juga dipandang dari segi agama, baik Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Islam, serta Kejawen. Wayang, sebenarnya merupakan sebuah lambang atau simbol-simbol, yang dalam istilah Jawa disebut pasemon. Pasemon tersebut terdapat dalam jalinan kisah maupun tokoh-tokohnya, bahkan di seluruh eksistensinya. Istilah wayang mengandung makna wewayangan atau gambaran, yaitu wewayanganing ngaurip (gambaran kehidupan). Wayang dapat bergerak, berbicara, berbuat karena ada dalang yang melakukannya. Oleh karena itu wayang tersebut hanya sak derma hanglakoni apa yang dilakukan dalang terhadapnya. Raden Gathutkaca bisa terbang, karena diterbangkan dalang, Raden Bratasena dapat melompat dan selalu menang dalam setiap peperangan karena dijalankan dalang, buta Cakil selalu kalah dan mati dalam setiap perang kembang dengan seorang satria, karena dalanglah yang berbuat demikian. Sesungguhnya apabila seorang dalang menghendaki Gathutkaca tidak dapat terbang, Bratasena kalah perang, Cakil menang melawan satria adalah sesuatu yang mudah. Hal ini dapat diartikan bahwa, manusia hidup di dunia ternyata hanyalah seperti wayang yang dijalankan oleh sang Maha Dalang yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kejadian apapun yang menjadi kehendak Tuhan pastilah akan terjadi. Akan tetapi perbedaannya bahwa manusia bukanlah wayang. Manusia dikaruniai akal, pikiran, dan perasaan serta diberi kebebasan oleh Tuhan untuk berbuat sesuatu. Sedangkan wayang, segala perbuatannya adalah perbuatan dari dalang. Dalam kehidupan manusia, Tuhan hanyalah memberi petunjuk bahwa perbuatan yang baik akan mendapat kebaikan atau surga, dan perbuatan jelek akan mendapatkan kejelekan atau neraka.

Wayang merupakan gambaran kehidupan manusia di dunia, maksudnya bahwa setiap cerita yang baik dan yang buruk, tokoh yang jahat maupun yang berbudi luhur, dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga apa yang ada dan terjadi di dunia wayang dapat dijadikan cermin kehidupan manusia. Ada manusia yang bersifat seperti Pandawa ada yang seperti Kurawa, ada yang seperti Prabu Rama dan ada pula yang seperti Prabu Dasamuka. Hal ini karena sifat manusia memang beragam.

Dalang dapat diartikan ngudhal piwulang. Ngudhal berarti menguraikan dan piwulang adalah nasehat atau pelajaran. Dalang dapat diothak athik (direka kira) berasal dari bahasa arab yaitu “Dallan” yang berarti menunjukkan. Mungkin berasal dari kata dah + hyang = Hyang atau pemimpin yang berpindah, dan dapat juga berasal dari kata Dah + Lang (pitedah dan Piwulang) = orang yang memberi pitedah (nasehat) dan piwulang (pelajaran). Sehingga dalang adalah seseorang yang menguraikan nasehat atau pelajaran melalui media wayang. Walaupun dalang berkuasa atas semua kejadian di dunia wayang, tetapi seorang dalang tidak boleh seenaknya memainkan wayang. Hal ini disebabkan karena ia dibatasi oleh lakon atau cerita dan juga dibatasi oleh karakter tokoh-tokoh wayang itu sendiri. Apabila seorang dalang dalam pertunjukannya tidak menghiraukan batasan-batasan tersebut maka akan dianggap dalang yang kurang baik. Sedangkan Wayang = wasiat nenek moyang, atau wayang = watak bayangan, yaitu bayangan kehidupan manusia di dunia.

Wayang mempunyai bentuk-bentuk, nama-nama, dan kejadian-kejadian yang aneh-aneh jauh dari pemikiran biasa. Bentuk seperti: kethek (monyet), raksasa, bentuk seluruh wayang, sifat wayang yang kawin berkali-kali dengan gadis, seorang istri bersuamikan lima orang pria, kuku pancanaka, rujakpala, Dewaruci, semua itu aneh bagi yang memikirkan dan bagi yang menyusun dahulu tentunya tidak tanpa arti. Nama-nama, istilah-istilah, dan kejadian-kejadian yang tidak lazim, tentu mengandung makna yang harus dicari, maka perlu dirasakan dan dipikir arti dan maknanya sebagai gambaran kehidupan.

Gambaran kehidupan manusia tersebut diuraikan atau dipentaskan di kelir, yang dapat diartikan Kelir = pratikel + lahir yaitu pratikel sing kelahir. Pratikel atau saran-saran atau petunjuk yang dilahirkan (diucapkan). Saran-saran tersebut dilahirkan melalui pementasannya. Sehingga kelir juga dapat diartikan dunia ini, sebagai tempat hidup manusia. Pretikel atau saran-saran tersebut disampaikan dalang melalui jalannya cerita di pakeliran. Adanya wayang, iringan gamelan, sulukan, janturan, pocapan dialog dan tembang, merupakan sarana dalang untuk menyampaikan saran atau pretikelnya untuk kedamaian dunia.

Selain kelir, dalam pementasannya dalang harus menggunakan lampu penerangan yang disebut blencong. Blencong dapat diothak-athik dari kata bel + lin + cong = menyala bel + salin + cong-congan, artinya setelah memulai, hendaklah tidak berganti (salin) tujuan. Dapat juga berasal dari kata: Bel + encong = disumet “bel” nanging aja nganti mencong = dinyalakan bel tetapi jangan sampai salah arahnya mulai memberi penerangan menurut dakwah agama yang benar dan jangan diberi arah yang salah; blencong yang menyala terang di atas kelir; melambangkan matahari yang pagi-pagi merah tampaknya seperti blencong, timbulah siang dan malam, hujan dan kering, panas dan dingin, air dan awan, kehidupan dan keasyikan manusia di bumi yang seluruhnya merupakan sumber ilmu bagi manusia di dunia. Dengan adanya seluruh kehidupan manusia, binatang- binatang, pohon-pohon bersama benda-benda dalam alam yang luas ini sebagai makrokosmos (alam besar), Tuhan mengeluarkan seluruh ilmu di muka manusia sebagai mikrokosmos (alam kecil). Manusia diperintahkan untuk membaca “buku” yang maha besar itu termasuk dirinya sendiri agar dapat menyelami ilmu yang dimiliki Tuhan sejauh yang dikehendaki-Nya. Usaha menambah ilmu harus terus, karena masih banyak sekali yang belum diketahui. Itulah yang dilambangkan pergelaran di kelir. Tanpa blencong itu tak akan tampak kejadian-kejadian di kelir, atau tanpa matahari, maka akan lenyaplah ilmu. Selama manusia (orang) masih hidup, kuat, sehat, dan dapat melihat, selama itu pula ia harus mencari ilmu, tanpa memperhitungkan seberapa ilmu yang luas itu yang diberikan kepadanya.

Tiap-tiap kekosongan mungkin dapat diisinya dengan mencari dan menambah ilmu, sehingga seluruhnya kehidupan selalu beruntung dengan tambahan ilmu yang bermanfaat untuk hidupnya sendiri. Ia tidak termasuk orang merugi dalam kehidupan.

0 komentar:

Posting Komentar