Sufisme Dalam Lakon “Dewa Ruci” (2)

|
Oleh: Eko Santosa

3. Dewa Ruci dan Sufisme

Kisah Dewa Ruci secara keseluruhan memuat pengertian bahwa manusia harus sampai pada sumber air hidupnya sendiri apabila ia mau mencapai kesempurnaan dan dengan demikian sampai pada realitasnya yang paling dalam. Untuk mencapai kesempurnaan tersebut harus melalui berbagai tahap. Ada dua tahapan penting dalam tasawuf Islam yaitu; penyucian hati dan dzikir (berdoa) kepada Tuhan (Simuh, 1999:37). Dalam lakon “Dewa Ruci” tahapan-tahapan tersebut telah dilalui oleh Werkudara hingga ia bisa masuk ke dalam diri-dalamnya (inner self).

Tahapan pertama digambarkan dengan niat tulus Werkudara untuk mencari kawruh sangkan paraning dumadi. Meskipun ia sebenarnya ditipu oleh gurunya dan dilarang oleh keluarganya ia tetap melakukan niat tersebut. Niat yang kuat ini digambarkan dengan istilah kayu gung susuhing angin. Dewa ruci menjelaskan kepada Werkudara bahwa yang dimaksud dengan kayu gung susuhing angin adalah semangat, kekuatan dan ketulusan yang dimilikinya dalam menuntut ilmu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kayu adalah kajeng yang berarti karep atau keinginan, sedangkan gung berarti besar. Susuhing angin atau sarang angin itu terletak di dalam napas manusia (Werkudara). Keinginan yang besar tidak ada artinya jika tidak disertai oleh napas yang kuat.

Dalam fase ini Werkudara mengalami penyucian hati. Dengan satu tekad, satu niat yang tulus ia melakukan laku spiritual yang digambarkan dengan perjalanan Werkudara ke puncak Gunung Candramuka sampai ke tengah samudera. Werkudara dengan tegas mencoba meretas hal-hal yang bersifat keduniaan, dalam hatinya hanya ada satu tujuan. Ia tidak terpengaruh oleh saran dan larangan keluarganya. Bukan berarti bahwa Werkudara tidak menghormati mereka akan tetapi dengan memikirkan kembali apa yang terjadi di luar dirinya akan mempengaruhi kebulatan tekadnya, dengan demikian akan mempengaruhi tahap penyucian hati yang ia lakukan.

Tahapan kedua adalah tahap awang-uwung atau kekosongan tanpa batas. Werkudara mengalami keadaan ini ketika ia berhasil mengalahkan Naga Nemburnawa yang dapat dianalogikan dengan nafsu duniawi Werkudara. Setelah terbebas dari nafsu duniawi, Werkudara mengalami ekstasi dan berada dalam kondisi awang-uwung. Keadaan ini membawa Werkudara bertemu dengan Dewa Ruci yang tidak lain adalah realitas-dalam dirinya sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rahim Dewa ruci melalui telinga sebelah kanan. Maksud dari telinga sebelah kanan adalah bahwa untuk mencapai realitasnya yang paling dalam Werkudara harus mampu mendengarkan segala kebaikan (hati nuraninya).

Begitu berada di dalam perut Dewa ruci Werkudara tidak bisa mengetahui arah; atas, bawah, utara, selatan, barat atau timur. Selanjutnya Dewa Ruci menerangkan untuk dapat menembus kekosongan (ketidaktahuan) tersebut Werkudara harus kembali ngesthi (berdoa/dzikir) dengan segala kesungguhan dan kepasrahan. Setelah melakukan doa khusyuk akhirnya Werkudara mulai mengetahui arah dan bisa dengan pelan-pelan membiasakan diri terhadap keadaan yang dialaminya.

Werkudara merasa kagum dengan keberadaannya. Ternyata berada di dalam rahim Dewa Ruci sangat menyenangkan. Segalanya tampak indah. Ketenteraman, kedamaian, ketenangan menyelimuti segenap perasaannya. Dewa Ruci menanyakan kepada Werkudara apakah ia merasa betah tinggal di situ. Bagi Werkudara tidak ada lagi tempat terindah selain di dalam rahim Dewa Ruci. Ia tidak dapat merasakan apa-apa lagi selain keindahan. Ia telah merasa nikmat dengan realitas-dalam dirinya sendiri.


4. Pencerahan

Setelah melampaui tahap penyucian hati dan doa (dzikir) tersebut Werkudara menemukan diri-dalamnya dan mengalami pencerahan. Ia mendapatkan penjelasan tentang segala sesuatu yang ingin diketahuinya. Dalam fase ini Werkudara menemukan hakekat banyu perwita suci yang terangkum dalam pengertian-pengertian meliputi; hakekat dan sifat manusia, asal-usul manusia (Werkudara), ajining ngelmu (ilmu sejati) dan suruping panemu (prinsip sejati), makrokosmos dan mikrokosmos serta manusia sebagai makhluk sosial.

4.1. Hakekat dan Sifat Manusia
Hakekat manusia dalam lakon itu disebutkan terdiri dari zat, sifat, asma (nama) dan apengal (af’al). Zat itu artinya cipta sedangkan sifat itu adalah wujud. Bersatunya antara cipta dan wujud menjadi lahir dan batin manusia. Sedangkan asma itu adalah manusia dan apengal adalah pramana (prinsip hidup Illahi yang ada dalam diri manusia dan memberi hidup). Menyatunya asma dan apengal menjadi Kawula (manusia) dan Gusti (Tuhan). Untuk itu segala tingkah laku dan tindak-tanduk manusia hendaknya mengarah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Sifat manusia digambarkan sebagai cahaya empat warna; merah, hitam, kuning dan putih. Merah adalah perwujudan dari sifat sirik, iri, dengki, dan suka bertindak jahat. Hitam adalah sifat suka mengumbar nafsu makan, suka tidur, mengumbar nafsu, mudah marah, dan galak. Kuning adalah sifat suka lancang, suka mencuri, membenci kedamaian, dan jika terdesak mudah sekali untuk berbuat culas. Warna putih menggambarkan sifat suka berbuat baik, rajin, menerima, sosial, dan suka berkawan.

Dalam menjalani kehidupan, seorang manusia harus memahami keempat warna (kelompok sifat) tersebut. Tidak ada satu sifat yang lebih dominan dari sifat yang lain, semuanya meng-ada dan menyatu dalam setiap diri manusia. Semua sifat tersebut menciptakan keseimbangan dan harmoni kehidupan manusia di alam semesta ini. Dengan mengenal secara mendalam keempat jenis sifat tersebut maka seseorang akan mengerti dengan benar keadaan alamiahnya sehingga akan mampu mengendalikan seluruh tindak-tanduknya.

0 komentar:

Posting Komentar