Problematika Kreativitas Dalam Pewayangan (1)

|

Oleh: Purwadi

Setiap kali diadakan diskusi yang membahas tentang pentas wayang kulit, di situ juga terjadi silang pendapat antara pro perubahan dan pro pakem. Bagi yang pro perubahan pakeliran, dalihnya mungkin karena ekonomi, selera pasar, tuntutan penonton, perkembangan jaman, dan kebebasan kreativitas. Bagi yang pro pakem mungkin alasannya karena menjaga nilai adiluhungnya seni, wibawa pakeliran, dan memelihara jatidiri.

Sena Sastraamidjojo dalam bukunya Nonton Wajang Kulit Jawa mengatakan bahwa pakem adalah sebuah kitab (catatan atau daftar) yang di dalamnya terdapat peraturan mengenai bentuk dan jalannya cerita wayang, boneka-boneka wayang yang harus dipakai, iringan gamelan yang menghantarkan, dan lain-lain. Peraturan ini ditetapkan oleh para ahli yang harus berlaku sebagai pedoman, dan tidak boleh diubah sewenang-wenang (1958: 54 – 55).

Pakem semula hanya berlaku di kalangan para dalang keraton, diterapkan pula pada berbagai pengajaran (kursus) pedalangan; seperti di Kasunanan Surakarta mendirikan Padhasuka (Pasinaon Dhalang Surakarta), Kasultanan Yogyakarta mendirikan Habirandha (Hambiwaraken Rancangan Andhalang), dan Mangkunegara VII mendirikan PDMN (Pasinaon Dhalang Mangkunegaran). Sebagian besar para murid yang terdaftar adalah dalang-dalang muda dari berbagai wilayah keraton masing-masing, termasuk para anak dalang di pedesaan (Bambang Murtiyoso, 1996: 1).

Pakem keraton sering dipandang sebagai tolok ukur kualitas pakeliran di kalangan para dalang senior. Akibatnya, pakeliran seakan-akan telah berhenti, peluang kreativitas para dalang dihantui oleh ketakutan terhadap anggapan merusak pakeliran yang adiluhung. Padahal kalau kita mau menengok ke belakang sejenak, akan kita dapatkan bahwa seni pewayangan merupakan ajang kreativitas para seniman pendukungnya sejak adanya wayang yaitu zaman kerajaan Kediri. Pakem itu sendiri merupakan hasil dari kreativitas para empu-empu dalang.

Menurut Poedjasoebrata (1978) dalam bukunya yang berjudul Wayang Lambang Ajaran Islam, mengatakan bahwa sebelum jaman Demak wayang berujud arca-arca kecil yang menyerupai manusia. Hal ini bertentangan dengan paham agama Islam, dan diharamkan. Oleh karena itu, para seniman pada jaman tersebut kreatif mengubah hal-hal yang haram dalam wayang menjadi sesuatu yang diperbolehkan, tetapi tidak mengurangi esensinya. Boneka wayangnya dibuat berbentuk yang jauh dari bentuk manusia, tetapi orang dapat melihat bahwa bentuk yang baru itu menggambarkan manusia. Perubahan ini juga menimbulkan problematika pro dan kontra

Pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, selama ini dikenal sebagai format yang paling akrab, diminati, dan dinikmati oleh masyarakat. Ini bisa dipahami karena proses kreativitas yang panjang semenjak kelahirannya sebagai sebuah seni pertunjukan. Dari semula yang pertunjukannya hanya diiringi sebuah saron dengan pola tabuhan “tak beraturan”, kini menjadi kompleks dengan menggunakan seperangkat gamelan baik slendro maupun pelog. Komposisi-komposisi baru bermunculan, bahkan ditambah dengan seperangkat musik diatonis lengkap dengan penyanyi dan pelawaknya. Hal ini menandakan bahwa pewayangan merupakan ajang kreativitas yang sangat luas.

0 komentar:

Posting Komentar