Raksasa yang ada di sebelah timur selatan sepertinya sudah kelelahan, dengan posisi badan yang agak miring ke kanan, tetapi walau bagaimana pun tangan tetap menahan badan candi. Tampilan rambut raksasa ini agak berbeda dengan tampilan rambut raksasa lainnya, yaitu menampilkan rambut yang lurus, sedangkan hiasan pengisi ruang kosong masih tetap menggunakan stilasi dari tumbuh-tumbuhan. Adapun raksasa yang berada di sebelah timur tengah, penampilannya hampir sama dengan raksasa pada posisi selatan barat, hanya karakter mukanya yang sedikit berbeda.
Raksasa yang berada di timur utara menunjukkan punya cara berbeda dalam mengangkat badan candi, ia tidak menggunakan tangannya untuk mengangkat, tetapi menggunakan bahu dan tengkuknya, sedangkan kedua tangan menopang lutut untuk mendorong badan candi naik ke atas. Kedua kaki dengan kokoh ditekuk untuk menahan kedua tangannya. Hiasan pengisi ruang kosong tetap menggunakan hiasan flora dengan bentuk ukel.
Adegan dua figur yang sedang memotivasi raksasa yang sedang mengangkat badan candi, dengan sikap mengejek muncul kembali pada relief ’tiang’ sebelah utara timur. Namun posisi kaki raksasa tidak memberi kesan menghadap ke depan, tetapi agak menyamping kiri, dengan penampilan satu kaki lebih di muka dan satunya lebih ke belakang. Walaupun secara perspektif tampilan itu tidak benar, namun kesan yang ditampilkan bisa ’bercerita’ bahwa raksasa itu agak menghadap ke samping. Adapun flora masih tetap menjadi hiasan-hiasan pengisi ruang kosong, sedangkan relief bagian utara tengah masih dalam proses dan belum jadi.
Relief ’tiang’ paling utara barat menyerupai adegan raksasa pada ’tiang’ selatan barat, namun mukanya agak menunduk dan menghadap ke samping kiri, sedangkan hiasan-hiasan pengisi ruang kosong tetap menampilkan tumbuh-tumbuhan. Pada ketiga relief ’tiang’ sisi utara tersebut menunjukkan banyak informasi. Pertama, relief-relief raksasa pada ’tiang-tiang’ tersebut dapat dipastikan tidak dibuat oleh satu seniman, hal ini ditunjukkan bahwa relief ’tiang’ sebelah utara timur sudah jadi, utara tengah belum jadi, sedangkan yang utara barat sudah jadi. Naluri manusia biasanya bekerja secara berurutan, sedangkan pada relief sisi utara bagian tengah belum jadi tetapi kanan-kirinya sudah jadi, maka dapat diduga bahwa relief-relief tersebut dibuat oleh lebih dari satu orang seniman.
Dari kesembilan relief raksasa pada ’tiang’ di kaki Candi Tigawangi tidak ada satu pun yang persis sama, bahkan ada kecenderungan disengaja dibuat berbeda-beda, apakah itu karakter raksasanya, posisi badan, tampilan aksesoris, pengisi ruang kosong maupun suasana yang mendukung di sekitarnya. Hal ini dapat dipastikan bahwa hal tersebut merupakan representasi dari kreativitas seniman pada waktu itu dan adanya kebebasan seniman dalam mengekspresikan respon kreatifnya terhadap satu karya yang ’diperintahkan’ kepadanya.
Candi merupakan bangunan yang suci bagi pemeluk agama Hindu-Budha, namun ternyata seniman pada saat itu merespon sesuatu yang bersifat religius, tidak harus dilakukan dengan kaku dan terpaku pada pola-pola baku/canon tertentu, tetapi dapat ditampilkan dengan penuh kebebasan dan rasa humor. Hal ini berbeda dalam cara membangun masjid atau gereja. Hiasan-hiasan yang ditampilkan cenderung simetris dan berulang-ulang. Fakta-fakta tersebut sebenarnya merupakan permasalahan yang menarik untuk diteliti secara lebih mendalam.
Berdasarkan tampilan-tampilan bentuk relief tadi ternyata dengan bentuk yang tidak realistis, telah mampu memberi pesan apa yang dilakukan oleh satu figur, jadi dalam sebuah komunikasi dengan bahasa visual tidaklah harus selalu ketepatan bentuk yang terpenting, tetapi yang utama adalah tampilan ekspresi, sehingga seorang penikmat karya seni itu dapat dengan mudah menangkap sebuah makna yang ditampilkan oleh satu adegan dalam relief candi.
Namun walau bagaimana pun kebebasan itu diberikan pada seorang seniman, tetap saja ada karakter-karakter umum yang harus diikutinya. Seperti tampilan raksasa memiliki ciri umum, sehingga dengan mudah dapat ditetapkan bahwa figur tersebut adalah raksasa. Yaitu dengan ciri khas matanya yang dibuat bentuk membulat, sehingga mengesankan melotot dan mulut yang bertaring. Itulah bentuk universal dari figur raksasa.
Kesimpulan
Menelusuri artefak hasil karya nenek moyang, sering kali dikejutkan dengan banyaknya kekayaan kreativitas yang telah dibuat oleh seniman masa lampau yang muncul kembali di masa kini tanpa kita menyadarinya. Banyak wujud-wujud kreativitas saat itu yang melampaui jamannya dan baru sebagian dimengerti saat ini dan masih banyak lagi ujud rupa hasil karya nenek moyang yang masih menjadi misteri, menunggu pewarisnya untuk mengungkap makna yang sebenarnya dan mentransformasikan dalam kehidupan masa kini. (*)
Kepustakaan:
Holt, Claire. (1967). Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. R.M. Soedarsono. (2000). Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung.
Kusen, at al.(1993). “Agama dan Kepercarayaan Nasyarakat Majapahit”, dalam Sartono Kartodirdjo, et al. 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993) Suatu Bunga Rampai. CV. Tiga Dara, Surabaya.
Mookerjee, Ajit. (1985). Ritual Art of India. Thames and Hudson, London.
Peursen, C.A. van. (1988). Strategi Kebudayaan. Kanisius, Yogyakarta.
Sutrisno SJ, Fx. Mudji dan Christ Verhaak SJ. (1993). Estetika: Filsafat Keindahan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Penerbit ITB, Bandung.
Soedarso Sp. (2006). Trilogi Seni; Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni. Badan Penerbit ISI Yogyakarta, Yogyakarta.
Soedjono, Soeprapto. (2006). “Trasformation of Aesthetics Form: The Case of Ramayana Panel-Relief of Prambanan Temple.” Jurnal Mudra, Bali.
Stutterheim. (t.t.). “Arti Candi-candi Jawa-Hindu”, dalam Soedarso Sp. ed. Proses Pembentukan, Pertemuan antara Kebudayaan Indonesia Asli dengan Kebudayaan India. Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI Yogyakarta, Yogyakarta.
Sudhi, Padma. (1983). Aesthetic Theory of India. Bhandarkar Oriental Research Institute, Poona, India.
Sukmono, dan Inajati Adrisijanti Romli. (1993). “Peninggalan-peninggalan Purbakala Masa Majapahit”, dalam Sartono Kartodirdjo, et al. 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993) Suatu Bunga Rampai. CV. Tiga Dara, Surabaya.
Tanudirjo, Daud Aris. (1993). “Pertanian Majapahit Sebagai Puncak Evolusi Budaya”, dalam Sartono Kartodirdjo, et al. 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993) Suatu Bunga Rampai. CV. Tiga Dara, Surabaya.
Thwaites, Tony, et al. (1994). Tools for Cultural Studies an Introduction. Macmillan Education Australia PTY LTD, Melbourne.
Wolff, Janet. (1981). The Social Production of Art. Library of Congress Cataloging in Publication Data, New York.
0 komentar:
Posting Komentar