Oleh: Toto Sugiarto Arifin
Pendahuluan
Secara historis, akhir abad ke-10 telah terjadi perubahan besar di pulau Jawa, dengan memudarnya gravitasi kebudayaan di Jawa Tengah dan telah bangkitnya sinar baru atau zaman baru di Jawa Timur. Zaman baru ini telah membawa perubahan-perubahan besar terhadap kebudayaan di pulau Jawa, yaitu ditandai dengan semakin kuatnya anasir-anasir kepercayaan ‘asli’ muncul dalam proses kebudayaan di Jawa. Walaupun budaya India tetap menjadi unsur utama dalam wujud kebudayaan pada masa Jawa Timur. Unsur asli Jawa ini sebenarnya sudah muncul sejak kebudayaan India bersentuhan dengan kebudayaan Jawa pada masa Jawa Tengah, seperti yang disampaikan oleh Rabrindranath Tagore, ketika berkunjung ke Indonesia pada tahun 1927, “Saya melihat India di mana saja, tetapi saya tidak mengenalnya” (Holt, 2000: 73). Artinya bahwa kebudayaan ‘asli’ Jawa sangat kuat mempengaruhi kebudayaan yang datang dari India, sehingga Tagore melihat perbedaan-perbedaan yang signifikan antara representasi produk budaya Hindu-Budha yang ada di India dengan di tanah Jawa.
Semakin kuat munculnya kebudayaan Jawa asli di Jawa Timur disebabkan datangnya Agama Islam di tanah Jawa yang sedikit demi sedikit mengubah kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Di samping itu pula kondisi sosial politik yang tidak menentu akibat terlalu seringnya terjadi perebutan kekuasaan dalam lingkungan kerajaan, mengakibatkan rakyat menjadi gelisah dan mereka mencoba mencari pranata baru untuk mencapai kedamaian. Seperti yang dijelaskan oleh Kusen dalam buku Sartono Kartodirdjo (1993: 97), bahwa kehidupan keagamaan masa Majapahit akhir atau sekitar abad 15 mengalami perubahan, karena agama Siwa dan Budha sebagai agama negara mengalami kemunduran. Di lain pihak kepercayaan ‘asli’ muncul kembali, yang mana gejalanya telah tampak pada masa-masa sebelumnya namun perkembangannya benar-benar menonjol pada masa Majapahit akhir. Dalam suasana kemunduran itu tampaknya ada usaha-usaha untuk memperkokoh kedudukan agama Siwa dalam kehidupan keagamaan masyarakat Majapahit. Usaha yang berkaitan dengan hal tersebut dibuktikan dengan menyebarluaskan ciri Siwa, agar masyarakat Majapahit mengingat kembali agama yang dianutnya.
Upaya memperkokoh kepercayaan masyarakat tentang agama Siwa tidak begitu berhasil dengan baik, hal itu dibuktikan semakin menguatnya kepercayaan ‘asli’ hidup dalam masyarakat Majapahit pada saat itu, sehingga upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah kerajaan tidak mampu membendung berkembangnya kepercayaan ‘asli’. Salah satu faktor yang mendorong semakin pesat berkembangnya kepercayaan ‘asli’ tersebut adalah situasi sosial politik yang mengalami kegoncangan sebagai akibat masuknya agama Islam di Jawa. Wilayah kekuasaan Majapahit terutama daerah pesisir banyak yang melepaskan diri dari Majapahit, serta membentuk negara-negara Islam (Kusen: 1993: 98). Penyebaran agama Islam yang semakin luas dan kondisi politik yang kacau menimbulkan gerakan “milenarisme” dalam masyarakat.
Menurut Tanudirjo gerakan “milenarisme” memiliki konsep keinginan untuk mendatangkan jaman atau negara yang sempurna dengan pranata yang baik, karena pranata yang berlaku saat itu dianggap dalam kondisi buruk. Munculnya gerakan “milenarisme” tampaknya mendapat tanggapan yang positif, serta dapat memperkuat kedudukan masyarakat pinggiran sebagai penganut kepercayaan ‘asli’, meskipun di daerah pedalaman berkembang agama Siwa. Atas dasar pemikiran itu, tampaknya gerakan “milenarisme” dapat pula dijadikan salah satu faktor penyebab berkembangnya kepercayaan ‘asli’ pada masa Majapahit akhir (Kusen: 1993: 98). Sebenarnya kebudayaan ‘asli’ Jawa tersebut sudah tumbuh sejak zaman Jawa Tengah dan pada masa Jawa Timur semakin kuat kedudukannya. Jadi kebudayaan ‘asli’ selalu terus hidup dalam jiwa masyarakat Jawa, sejak zaman Jawa Tengah, bahkan sampai sekarang ini.
Walaupun transformasi budaya Jawa akibat pengaruh Hindu-Budha begitu kuat, bukan berarti menghilangkan kebudayaan prasejarah Indonesia, justru terjadi sintesis yang begitu harmonis, dengan tetap menampilkan budaya Jawa yang asli berbeda dengan kebudayaan India. Perbedaan-perbedaan itu semakin lama semakin terlihat dengan jelas, perbedaan tersebut ditandai dengan kenyataan bahwa patung-patung itu semakin lama semakin menunjukkan bentuk orang mati, kadangkala malahan menyerupai mummy. Kaki-kakinya diletakkan berdekatan, matanya tertutup dan perwujudan keseluruhannya merupakan satu mayat yang berpakaian kependetaan (Stutterheim: t.t.: 6).
Sebagai bagian dari perjalanan sejarah kerajaan Majapahit, salah satu peninggalannya adalah bangunan Candi Tigawangi. Kenapa candi ini menjadi menarik, hal ini disampaikan oleh Soekmono dalam bukunya Kartodirdjo (1993: 70), yang menyatakan bahwa menarik perhatian ialah bahwa Candi Tigawangi di daerah Kediri tidak tercantum sebagai dharma haji, padahal Negarakrtagama sendiri pada pupuh 82 menyatakan bahwa Curabhana adalah dharma Raja Wengker dan Tigawangi adalah dharma Raja Matahun dengan nama resminya Kusumapura. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Bhre Matahun mokta dhinarma ring Tigawangi dharmadhiseka ring Kusumapura.
0 komentar:
Posting Komentar