Problematika Kreativitas Dalam Pewayangan (2)

|

Oleh: Purwadi

Setiap muncul kreativitas dalam pewayangan, selalu muncul problematika antara yang pro dan kontra. Hal ini menimbulkan pembicaraan yang berkepanjangan antara kualitas versus laris; antara ekspresi estetik versus dagelan antara lungiting kabatinan versus propaganda politik secara vulgar, dan lain sebagainya (Sri Hastanto, 1996: 1). Misalnya seperti yang dilakukan oleh Almarhum Ki Nartasabda. Kreativitas yang dilakukan oleh Ki Nartasabda antara lain:

· Mengadakan pembaharuan garap gendhing-gendhing klasik dan menyelipkan lagu-lagu pop ciptaan baru dalam adegan tertentu.

· Mencampur beberapa teknis gaya dan/atau sub gaya pekeliran daerah, Yogyakarta, Surakarta, Banyumasan, dan Jawatimuran.

· Merubah kebiasaan penempatan gamelan, untuk memudahkan dialog dengan para pesinden.

· Menyelipkan janturan/pocapan serta dialog-dialog segar dan humoristik dalam suasana adegan yang serius atau menegangkan.

Kreativitas yang dilakukan oleh Ki Nartasabda tersebut sering mendapatkan kritikan yang tajam dari pengamat wayang, empu-empu dalang, dan pendukung-pendukung seni tradisi. Tetapi seakan-akan tidak dipedulikan oleh Ki Nartasabda. Ki Nartasabda sekarang, di kalangan masyarakat pedalangan, menjadi terkenal sebagai maestro atau dalang pembaharu. Ketenaran dan keberhasilan Nartasabda lewat pakeliran garap jenaka ini mendapat simpati masyarakat luas dan diikuti dalang yang lebih muda. Mulai saat itu bentuk pertunjukan wayang semalam telah bergeser menjadi bentuk hiburan sehingga menimbulkan problematika.

Kreativitas dalam pewayangan kembali muncul yang diprakarsai oleh STSI Surakarta dengan diciptakannya pakeliran padat. Dengan pakeliran padat diharapkan dapat menggarap dan mengungkapkan masalah-masalah kehidupan rohani yang mendalam, yang wigati, yang wos. Maka hal-hal yang dianggap tidak relevan wajib ditepis serendah-rendahnya. Konsep dasar ini harus didukung oleh kemampuan seniman dalam hal penguasaan teknis pakeliran secara tuntas serta pemahaman budaya wayang yang cukup. Orientasi pakeliran padat lebih ditekankan pada pandangan bahwa pakeliran adalah produk estetika, maka segala hal yang dianggap tidak artistik lebih pas apabila ditinggalkan. Para dalang yang berorientasi pada selera komersial, kecuali Ki Mantep Soedarsono, telah menentang kehadiran pakeliran padat, sebab dianggap merusak pakem karena bertentangan dengan tradisi pakeliran mereka.

Mengacu konsep pakeliran padat, STSI mengadakan satu bentuk eksperimen dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai media ekspresinya. Percobaan-percobaan peng-Indonesian wayang sebelumnya dianggap masih terlalu verbal, terbatas pada bentuk alih bahasa. Konsep pakeliran tradisi dianggap tidak tepat lagi untuk dapat mewadahinya. Oleh karena itu, mereka mencoba mengembangkan pakeliran dengan cara: memperlebar dan memperpanjang ukuran layar, menggarap unsur gerak wayang (sabet) dan bayangan, mengolah iringan (karawitan), memanfaatkan teknik film dan teater, menggunakan sistem dubbing dalam percakapan serta narasi, dan sebagainya. Cara pengembangan kedua yang dilakukan oleh STSI Surakarta ini tidak dapat berkembang dengan mulus, disebabkan oleh keterbatasan biaya dan sumber daya manusia yang dimiliki.

0 komentar:

Posting Komentar